AbstrakPenelitian Dialektologi pada berbagai bahasa daerah sudah berjalan selama 50 tahun di Indonesia. Reevaluasi terhadap konsep pemilah bahasa dan dialek untuk bahasa Nusantara perlu dilakukan. Berdasarkan kajian terhadap 129 penelitian dialektologi di seluruh Indonesia, terlihat adanya kecenderungan yang tinggi untuk menggunakan isoglos dibandingkan dialektometri maupun mata rantai pemahaman. Konsep pemilah berdasarkan mata rantai pemahaman, isoglos, maupun dialektometri tetap dapat digunakan untuk bahasa-bahasa nusantara. Dengan catatan, perlu modifikasi atau penyesuaian agar sesuai dengan situasi dan kondisi kebahasaan yang multilingual di Indonesia. Modifikasi untuk mata rantai pemahaman terutama untuk teknik pengujian, penentuan titik-uji serta titik-acuan, dan pemilihan teks. Modifikasi untuk isoglos terfokus pada penentuan kriteria derajat kemiripan bunyi dan kriteria pembuatan berkas isoglos. Modifikasi untuk dialektometri berkonsentrasi pada persentase pemilahan bahasa dan dialek. AbstractEven today, there is disagreement among experts over how many languages and dialects there are in Indonesia. The methodological tools for classifying languages consist of mapping isoglosses, dialectometry, and measures of mutual intelligibility. The present article surveys the methodology used in N = 129 researches performed over the last 50 years and finds that researchers based their conclusions about languages and dialects predominantly on isoglosses while dialectometry and mutual intelligibility were much less used. It is also suggested that these three research methods be reevaluated in the light of the multilingual situation in Indonesia. We could possibly get better results with the isogloss method if we reconsidered the criteria for degree of sound similarity and the criteria for bundling isoglosses. For dialectometry, we should consider modifying the current percentages used to distinguish language-dialect divisions. For establishing mutual intelligibility, the factors that could be reassessed include techniques of testing, the procedures for choosing test-points and reference-points, and the criteria for choosing valid texts for testing.
Place names play a vital role in human society. Names exist in all languages and place names are an indispensible part of international communication. This has been acknowledged by the establishment of the United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN). One of UNGEGN's tasks is to coordinate international efforts on the proper use of place names. Indonesia supports this effort and through its National Geospatial Agency (BIG). Place names are also of interest as an object of study in themselves. Academic studies into place names are found in linguistics, onomastics, philosophy and a number of other academic disciplines. This article looks at these two dimensions of place names, standardization efforts under the auspices of international and national bodies, and academic studies of names, with particular reference to the situation in Indonesia.
Etnis Tionghoa di Tangerang yang disebut sebagai Cina Benteng, yaitu pribuminya Tangerang. Sebutan Benteng terkait erat dengan sejarah awal migrasi Cina Benteng di Tangerang yaitu mendiami bentengbenteng dan bercocok tanam sebagai petani atau nelayan. Berkulit coklat, bermata sipit, dan memelihara meja abu, merupakan sekilas potret Cina Benteng. Sehubungan dengan fenomena tersebut di atas, pada penelitian ini penulis bertujuan menelaah makna toponim di Tangerang untuk dikaitkan dengan keberadaan atau eksistensi dari etnis Cina Benteng. Penelitian ini menggunakan ancangan linguistik historis komparatif yang memanfaatkan nama sebagai satuan linguistik yang akan ditelisik makna, dan kaitannya dengan aspek historis. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori makna etimologi, teori makna semiotik Barthes dan, dan Nystorm (2016). Toponim atau nama tempat adalah salah satu cabang kajian dari onomastika (Rais et al, 2008). Onomastika mengkaji nama diri dan nama tempat. Nama hadir tidak semata untuk memenuhi fungsi identifikasi akan tetapi kehadiran nama juga mengungkap aspek sosial budaya yang ada. Sebuah nama dikonstruksikan, dimaknai, digunakan secara terus menerus atau bahkan kemudian diganti dan ditinggalkan. Kajian nama tempat atau toponim merupakan bentuk kajian linguistik historis komparatif yang memanfaatkan cabang kajian linguistik seperti semantik dan sosiolinguistik serta bidang lain diluar linguistik yang bersinggungan (Lauder, 2015). Data untuk tulisan ini dikumpulkan dari dokumentasi tertulis atau peta. Selain itu penulis juga memanfaatkan metode etnografi untuk dapat melihat kaitan sebuah nama tempat dengan masyarakat sekitar. Hasil penelitian ini menunjukan makna toponim di Tangerang, terkait erat dengan keberadaan Cina Benteng baik di masa lampau hingga dewasa ini.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.