Etnis Tionghoa di Tangerang yang disebut sebagai Cina Benteng, yaitu pribuminya Tangerang. Sebutan Benteng terkait erat dengan sejarah awal migrasi Cina Benteng di Tangerang yaitu mendiami bentengbenteng dan bercocok tanam sebagai petani atau nelayan. Berkulit coklat, bermata sipit, dan memelihara meja abu, merupakan sekilas potret Cina Benteng. Sehubungan dengan fenomena tersebut di atas, pada penelitian ini penulis bertujuan menelaah makna toponim di Tangerang untuk dikaitkan dengan keberadaan atau eksistensi dari etnis Cina Benteng. Penelitian ini menggunakan ancangan linguistik historis komparatif yang memanfaatkan nama sebagai satuan linguistik yang akan ditelisik makna, dan kaitannya dengan aspek historis. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori makna etimologi, teori makna semiotik Barthes dan, dan Nystorm (2016). Toponim atau nama tempat adalah salah satu cabang kajian dari onomastika (Rais et al, 2008). Onomastika mengkaji nama diri dan nama tempat. Nama hadir tidak semata untuk memenuhi fungsi identifikasi akan tetapi kehadiran nama juga mengungkap aspek sosial budaya yang ada. Sebuah nama dikonstruksikan, dimaknai, digunakan secara terus menerus atau bahkan kemudian diganti dan ditinggalkan. Kajian nama tempat atau toponim merupakan bentuk kajian linguistik historis komparatif yang memanfaatkan cabang kajian linguistik seperti semantik dan sosiolinguistik serta bidang lain diluar linguistik yang bersinggungan (Lauder, 2015). Data untuk tulisan ini dikumpulkan dari dokumentasi tertulis atau peta. Selain itu penulis juga memanfaatkan metode etnografi untuk dapat melihat kaitan sebuah nama tempat dengan masyarakat sekitar. Hasil penelitian ini menunjukan makna toponim di Tangerang, terkait erat dengan keberadaan Cina Benteng baik di masa lampau hingga dewasa ini.
Objek penelitian ini adalah nama tempat atau toponim. Toponim merupakan bagian dari identitas budaya. Penelitian in bertujuan untuk mendeskripsikan tiga aspek nama yaitu 1) bentuk, 2) makna, dan 3) latar belakang penamaan tempat-tempat bersejarah terkait masyarakat Cina Benteng, Tangerang, Banten. Nama tempat adalah salah satu bentuk data bahasa yang berisi seperangkat nilai kearifan lokal yang harus dipahami, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pada kajian linguistik nama dianggap sebagai satuan lingual secara bentuk, memiliki makna, dan memiliki fungsi baik ditingkatan bahasa maupun konteks sosial. Secara praktis nama digunakan untuk identifikasi wilayah, dan mempermudah proses perpindahan atau migrasi masyarakat. Secara kebahasaan, penamaan tempat merupakan dokumentasi bahasa yang berfungsi baik secara individu sebagai bentuk pemahaman diri dan secara kolektif sebagai bentuk identitas kolektif sebuah etnis atau masyarakat. Penelitian ini menggunakan Cina Benteng sebagai objek penelitian. Etnis Cina Benteng memiliki keunikan baik dalam ciri – ciri fisik maupun aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Data penelitian ini berupa variasi toponim sewan yang ditemukan sebanyak 12 variasi. Penelitian deskriptif kualitatif ini memanfaatkan teori etnosemantik dan linguistik antropologi. Penelitian ini memanfaatkan data primer yang diambil dengan pendekatan etnografi melalui teknik libat, cakap, catat, dan rekam. Hasil penelitian menggambarkan variasi toponim sewan menggambarkan aspek sejarah dan budaya yang mencakup 1)tokoh setempat yang berpengaruh, 2) peristiwa sejarah di sebuah lokasi, dan 3)pengetahuan lokal terkait budaya setempat.
People socialize trough language. Language uses as media of communication and fulfils formal and informal roles in society. In communicating, people have their preference in using certain language for certain roles. Speaker preferences represent their language attitude toward those languages. Speaker attitude of language will strongly affect the preservation of language. In East Java, the regional language is Javanese language. However, people tend to use Indonesia language or Javanese language as their lingua franca in this modern era. This phenomenon encourages one language become dominant or minor. This paper focuses on the attitude of Javanese speaker among participant. The writer chooses participant from Javanese speaker in Madiun, East Java. Participants are chosen in consideration of aspects native speaker and distribution of Javanese language in Java. The domain of language usage and variety of attitudes are used to measure the attitude of language speaker. Besides investigating the language attitude of the participant, in this article, the writer also analyses the language preservation of the participant. The result shows that the participant perform positive attitude toward Javanese language. Therefore, the language preservation that has done by the participant is in the intermediate level. This article is, therefore, only a case study of language attitude, particularly to see how the attitude of native speaker of Javanese language can be problematic in the modern era
At its daily used in adult individuals and children, language meet the communication function is to communicate ideas (thought) of an individual in others (Piaget, 2005: 1). This can be evident from the speech-speech or narrative generated in the use of everyday language which then becomes an interesting study for the main study in the use of language in children. In narrating the story, just as it had done by adult speakers, children will also make the selection and preparation of experience and other stories from the story of his life (life story). This explains the narrative as a genre that is universal because it narrated traditions can be found in every culture and speakers of different languages ​​(Hatch: 1992 in Brockmeier 1998). On the other hand, the narrative is also characterized as being bound by culture and language so that in the context of language and speakers of different backgrounds will have the tools possible narrative and discursive different linguistic (Labov & Waletsky: 1968, Ochs: 1998 in Berman 1998). The above facts indicate that the narrative structure generated by the speakers of a language and culture will be different from the speakers of the language with cultural and language backgrounds other.
Kinship terminology is a way of addressing someone who is bound to themselves because of blood, descent, and marriage. Kinship terminology is culturally bounded. Kinship systems are widely discussed in different areas of humanity studies, such as linguistics studies. Terminologies in the kinship system of both Cina Benteng and Khek will be used as the linguistic evidence of this research. Since it is an ethnolinguistics study, this research attempts to analyze the kinship terminology of two similar ethnic communities, Cina Benteng and Hakka (Khek) in Tangerang through the ethnolinguistic point of view. It aims to provide the kinship terminology in Cina Benteng and Khek and also to contrast the similarities and differences between the term of address and term of reference in the chosen communities. This research will utilize the kinship theory from Nanda, Burling, and Lounsbury. The data of this research are being collected by doing interviews, recording the interview, taking notes, dan observe the site. This research revealed that even though Cina Benteng and Khek communities belonged to the same root, they have some contrast in their referring and addressing system of kinship. AbstrakIstilah kekerabatan adalah kosakata yang digunakan untuk menyebut seseorang yang terikat dengan diri/penutur karena hubungan darah, keturunan, dan perkawinan. Istilah kekerabatan dalam sebuah bahasa terikat oleh budaya. Sistem kekerabatan dibahas secara luas dalam berbagai studi humaniora, termasuk linguistik. Istilah kekerabatan dalam sistem kekerabatan Cina Benteng dan Khek akan digunakan sebagai data atau bukti linguistik penelitian ini. Penelitian ini mencoba menganalisis terminologi kekerabatan dua komunitas etnis Tionghoa, yaitu Cina Benteng dan Hakka (Khek), di Tangerang dari sudut pandang etnolinguistik. Tujuan penelitian ini ialah mendeskripsikan istilah kekerabatan di Cina Benteng dan Khek serta untuk membandingkan persamaan dan perbedaan dari istilah kekerabatan dan sapaan di komunitas itu. Penelitian ini menggunakan teori kekerabatan dari Nanda, Burling, dan Lonsburry. Data penelitian ini dikumpulkan dengan melakukan wawancara, perekaman, pencatatan, dan pengamatan di lokasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun berasal dari akar yang sama, komunitas Cina Benteng dan Khek memiliki beberapa perbedaan dalam sistem kekerabatan baik, dalam fungsi merujuk maupun memanggil.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.