AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hasil tentang tingkat profesionalisme guru IPS SMP di Kabupaten Sleman. Penelitian menggunakan metode penelitian survai yaitu jenis penelitian yang mengumpulkan informasi tentang karakteristik, tindakan, pendapat dari sekelompok responden yang representative yang dianggap sebagai populasi. Desain survai yang dipilih adalah cross-sectional dimana desain survai dilakukan terhadap sampel tertentu dalam jangka waktu yang relatif pendek. Populasi penelitian adalah guru IPS SMP/Mts di Kabupaten Sleman yang berjumlah 239 orang yang mengajar pada sekolah swasta maupun negeri. Dengan teknik simple random sampling tim peneliti mengambil sampel sebanyak 41 responden. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner (angket) yang terdiri dari 32 item pertanyaan. Teknik analisis data yang dipergunakan statistik diskriptif dengan menghitung mean, modus dan median untuk menemukan dan menggambarkan tendensi sentral profesionalisme guru IPS di Kabupaten Sleman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profesionalisme guru IPS SMP/Mts di Kabupaten Sleman belum baik (memuaskan). Dari lima aspek yang disurvai, hanya dua aspek yang menunjukkan baik, sedangkan empat aspek lainnya hanya bisa dikatakan cukup. Keempat aspek yang disurvai yaitu: kemampuan akademik (2,55), kemampuan guru dalam penelitian dan karya ilmiah (2,43), kemampuan dalam pengembangan profesi (2,93), wawasan kependidikan guru (2,93). Satu aspek lainnya yang disurvai adalah motivasi dan dorongan untuk berprestasi yaitu 2,94.Kata Kunci: Profesionalisme, Guru IPS, Motivasi Berprestasi.
This paper aims to investigate the main question: Is theory of cultural transformation formulated by Mitsuo Nakamura still significant after that Indonesian people experience fundamental changes in several aspect of their life? This paper is based on a qualitative research with case study approach. Data were collected by interview, observation, and document review. There are some main results of the research.l) Prediction of Mitsuo Nakamura which stated that subculture of santri in Kotagede has capability to lead changes, is still releant and valid due to their nowadays practices of life. While some part ofhis thoughts is notmore valid because some politictd configuration at national level occurs. 2) Cultural traniformation occurs in Kotagede; which is especially inspired and generatedby subculture of Modernist Islam. There is a phenomenon that value standard which was decidedby Majelis Tatjih Muhammadiyah is partially ignored.Approach of dakwah (religious proselytizing) got going to accommodate symbols and traditions ofsociety of Kotagede. "Undercover insubordination" against Tarjih Muhammadiyah has appeared as reflected in emergence of term "MUjA", abbreviated form Muhammadiyah jawa (Javanese Muhammadiyah),and of permissive culture.
Memasuki paroh dekade keenam usia kermedekaan bangsa Indonesia hingga di penghujung tahun 2009, bangsa ini belum berhasil menuntaskan formnulasi tentang satu sistem pendidikan nasional yang disepakati secara permanen oleh seluruh komponen bangsa Indonesia. Indikator belum adanya konsensus yang permanen tentang formulasi sistem pendidikan nasional secara fenomenal dapat dibaca dari munculnya sikap pro dan kontra yang sangat luas menjelang disyahkannya Undang-Undang Republik Indonesia NO. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Persoalan tersebut jika dilacak lebih jauh akan sampai pada akar persoalan belum stabilnya bangunan sistem politik nasional (floating state) yang menjadi payung bagi sistem pendidikan nasional. Dilihat dari perspektif politik rumusan tentang konsepsi sistem pendidikan nasional dan include didalamnya Pendidikan Kewarganegaraan adalah merupakan produk dari kebijakan politik dari suatu sistem politik. Dalam konteks keterkaitan antara sistem pendidikan nasional dengan sistem politik Indonesia yang menarik dipertanyakan lebih jauh adalah sistem pendidikan nasional di Indonesia tersebut dirumuskan ulang ditengah berlangsungnya refomasi politik yang sudah berlangsung memasuki satu dasawarsa (1998-2009). Merujuk pada gagasan besar demokrasi lebih khusus lagi perspektif tentang civil society, seharusnya rakyatlah yang memiliki otonomi untuk mengarahkan wacana dan memiliki kata putus tentang bentuk sitem politik nasional termasuk didalamnya tentang sistem pendidikan nasional yang disepakati oleh rakyat. Negara sebenarnya tidak memiliki wewenang untuk mengajari kepada rakyatnya (yang lebih sering menjadi proses hegomonisasi) nilai-nilai – prinsip-prinsip kehidupan yang secara elitis dianggap baik. Kegagalan negara Indonesia melalui regim yang berkuasa untuk mengajari rakyatnya mrlalui P4 misalnya selama kekuasaan Orde Baru memberikan bukti yang kuat akan kebenaran proposisi diatas. Mengikuti alur logika berfikir seperti ini, maka kerja intelektual untuk mengikhtiarkan bagi hadirnya suatu model pendidikan politik yang mampu melahirkan suatu tipe warga negara yang mampu memberikan kontribusi bagi tercapainya suatu konsensus nasional permanen bagi lahirnya suatu sistem politik nasional adalah merupakan sebuah keniscayaan sekaligus langkah strategis untuk terwujudnya konsolidasi demokrasi di Indonesia. Prospek pendidikan politik akan sangat dipengaruhi oleh hadirnya Pendidikan Politik yang mampu melahirkan warga negara yang memiliki budaya politik baru, gagasan inovatif, memiliki sikap kritis pada kinerja sistem politik nasional, serta memiliki loyalitas pada hasil konsensus nasional, di negara yang bernama Indonesia baru. Cita-cita tersebut memerlukan kerja keras dan sistemik serta waktu beberapa generasi untuk mewujudkannya, sebagaimana dialami oleh bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu meraih kemerdekaannya. Paparan dalam tulisan ini akan mencermati dan menganalisis prospek Pendidikan Politik sebagai bagaian yang tak terpisahkan dari reformasi politik nasional yang include didalamnya juga refomasi sistem pendidikan nasional
This research aims to understand the shifting of political education at Partai Keadilan Sejahtera (Prosperity and Justice Party (PKS). I employ theory of social contract to analyze phenomena involving the elites and the rest of the Muslims. This research is a study of the literature complemented with an in-depth interview with those who involve in the political education either as the subjects or objects of it. The data, then, were analyzed by means of a method of critical discourse. The political education shifting, partly, is related to the shifting of conception on the relationship between Islam, as normative values, and Indonesia, as the context for its implementation. At first, PKS tends to produce a cadre who has strong characters such as a pious cadre and loyal to the party. Majority of the elite party failed to represent themselves at the Parliament. Then, they develop political education which produces activists who are capable of accommodating Islamic values to the political calculation. At last, PKS follows the market demand of middle class Muslims who aspire to produce the religious and modern young Muslim generation. By so doing, PKS is able to expand its political influence amongst the people, especially the Muslim.
Before the General Election to choose the legislative members, that is held on April 5, 2005 and President General Election, that is held on June 5 and September 20, 2004, there was a political phenomenon, which then popularly said "a political contract. " The political contract was initiated by some elements of 'the civil society', which were the important components of the political power of pro-reform community. Looking at the cultural side, the existence of the political contract in the development of Indonesian politics implied that there was a change in cognitive, affective and evaluation orientation of some of Indonesian people in their attitudes and political habits to be more rational. The emergence of the more-rational political orientation was also pushed by the previous political experience of ''being betrayed by the political elite ', just like in 1999 General Election at the reform era. The chance also rose after the changes in the system of General Election that introduced the district and proportional system, and the direct president election that rose up the important of people's vote and aspiration. The changes had pushed the political elites to approach the people, fit themselves with the people's rhythm and dynamism, including the aspiration for political transparency and political accountability by willing to sign the political contract.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.