Universities around Indonesia are currently adopting online lectures to keep the learning process running in the face of the COVID-19 outbreak. Online courses, thanks to the rapid advancement of ICT, allow students and lecturers to interact despite the stay-at-home policy. Because of its flexibility and modern lifestyle, this method is likely to continue to be used in the future. Therefore, this study examines the benefits and disadvantages of online learning and understands students' expectations. With a total sample of 226 undergraduate students from four cities and seven universities in Indonesia, this research uses a descriptive survey design. The data collection technique was an online survey using Google Forms during May and June 2021. The results showed that most students viewed online learning during the pandemic as going well, although some students felt that their academic needs were not being met. Students find benefits of online learning, such as flexibility, cost savings, and increased confidence in engaging in discussions. However, the respondents identified a number of obstacles to achieve the ideal learning process, including low signal quality, limited laboratory practices, and high internet network expenses. Students reported certain disadvantages of online learning, such as limited interaction, irregular class schedules, and a high number of assignments. This study also found that most students lose their concentration easily. They also multitask during synchronous learning, where the side activities are mostly academically unrelated (e.g., doing daily activities, scrolling through social media, driving, and watching movies). From the data gathered, it is important for lecturers and universities to consider the reduction in assignments, meeting frequency, and duration of online learning to maintain students’ motivation and concentration Keywords: Covid-19, higher education, Indonesia, online learning, undergraduate students
Berbagai fitur menarik yang ditawarkan oleh gadget smartphone telah menyebabkan ketergantungan dalam kehidupan sehari-hari mulai generasi orang tua hingga balita. Ketergantungan akan pemakaian smartphone juga tidak terlepas dari akses penggunaan internet yang semakin mudah. Pertumbuhan internet begitu banyak membawa pengaruh positif seperti banyaknya terserap tenaga kerja, media aktualisasi diri, dan kemudahan akses informasi. Namun, pertumbuhan internet juga tak dapat dilepaskan dari pengaruh negatif antara lain hoaks yang terdiri dari misinformasi, malinformasi, dan disinformasi. Selain itu, orangtua khususnya ibu memiliki peran yang fundamental dalam menavigasi segala tantangan yang disajikan oleh teknologi internet. Penggunaannya menjadi candu bagi balita, hingga banyak menimbulkan kekhawatiran orangtua akan berpengaruh terhadap daya tumbuh kembang anak. Melalui program literasi digital diharapkan akan menciptakan ibu-ibu cerdas untuk generasi anak selanjutnya.
Fenomena komunikasi politik di Indonesia sejak tahun 2014 mulai bergeser dengan memanfaatkan ruang-ruang virtual sebagai medan pertarungan gagasan. Kemunculan meme di internet/media sosial turut berkontribusi dalam mengubah citra politik yang terkenal dengan dominasi elit menjadi ulasan keseharian masyarakat awam. Sejak pemilihan presiden tahun 2014, linimasa media sosial kerap dipenuhi oleh meme politik maupun politisi. Namun, munculnya meme dalam konstelasi politik elektoral yang awalnya sebagai bentuk ekspresi politik dengan semangat kebebasan berpendapat berujung pada konsekuensi hukum bagi kreator dan juga yang menyebarluaskannya. Tulisan ini hendak menggali secara mendalam tentang makna di balik meme politik dan politisi dalam rentang waktu 2014-2019 dan persepsi anak muda dengan fenomena meme politik dalam ruang komunikasi politik digital di Indonesia. Riset ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis wacana. Penelitian ini menggunakan kerangka analisis teks hermeneutika-fenomenologis Paul Ricoeur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meme politik dan politisi adalah bentuk komunikasi politik keseharian yang berpotensi untuk menumbuhkan literasi politik, partisipasi politik, serta mereduksi amarah publik. Meme politik merupakan bentuk kritik sosial yang lebih mudah diterima karena kandungan unsur humor di dalamnya. Meski tidak seluruh meme politik bersifat satir namun konsekuensi pidana terhadap produktor maupun penyebar meme politik dapat membatasi ruang deliberatif anak muda dalam menyampaikan gagasan politik mereka
Abstract:In legislative elections, it's so common that voter went to polling station without having decision to whom would he gave his trust to be his representative. In fact, it's not even uncommon that when they looked at the photos of those who ran in the polls, it was the first time for the voters saw their faces. Under this conditions, where the level of information's very low, simple cues such as the appearance of the candidate, candidates degree, party affiliation, and others became sources of voters argument making. This study's about the perception that came to voters mind when they saw a photograph of the candidate. It focused to see the effect of candidate appearance, in this case : the use of the veil and not, to the candidate evaluation by voters. It questioned did certain forms of appearance such as the wearing of a veil, made the wearer considered better than the one without. One of the most interesting finding of this study was that women candidates who wore veils were not considered more religious or more honest than the other candidates who didn't. Keywords: candidates appearance; low information voters; NFC; candidate evaluationAbstrak:Pada Pemilu legislatif, seringkali seorang pemilih mendatangi TPS tanpa memiliki pilihan mengenai siapa yang akan dia pilih untuk menjadi wakilnya di daerah dan pusat, karena minimnya pengetahuan mereka akan pilihan yang mereka miliki. Bahkan tak jarang ketika melihat foto-foto dari mereka yang mencalonkan diri di TPS, itu adalah kali pertama melihat wajah calon wakil mereka. Dalam kondisi di mana tingkat informasi sangat rendah ini, petunjuk-petunjuk sederhana seperti penampilan kandidat, gelar, afiliasi partai, dan lain-lain menjadi sumber penyusunan argumen bagi pemilih.Studi ini adalah studi mengenai persepsi yang muncul di benak pemilih saat melihat foto kandidat. Fokus dari studi ini, melihat pengaruh penampilan kandidat dalam hal ini penggunaan jilbab dan tidak terhadap evaluasi kandidat oleh pemilih. Apakah bentuk penampilan tertentu seperti pemakaian jilbab, membuat pemakainya dinilai lebih baik dari yang tidak menggunakan. Hasil uji komparatif menunjukkanbahwa kandidat wanita yang menggunakan jilbab tidak dinilai lebih religius ataupun lebih jujur dibanding kandidat yang lain.Kata kunci: penampilan kandidat, low information voters, NFC; evaluasi kandidat Teori-teori tentang demokrasi mengidealkan masyarakat atau pemilih yang berpengetahuan politik, sehingga dapat memutuskan pilihannya berdasarkan hasil evaluasi kognitif mengenai kualitas kandidat yang didasarkan pada isu yang diangkat, rekam jejak, serta hal-hal lain yang mengindikasikan kemampuan kandidat tersebut. Namun pada kenyataannya, karena berbagai alasan, informasi mengenai politik menjadi cukup mahal sehingga masyarakat tidak jarang menempuh jalan singkat untuk memperoleh informasi yang dirasa cukup sebagai dasar pilihannya.Beberapa isyarat atau petunjuk sederhana (simple cues) seperti agama, gender, suku, usia, wajah, dan penampilan kandidat seringkali digunakan oleh para pemilih sebagai pen...
Kegiatan pengabdian masyarakat ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran serta kewaspadaan masyarakat terhadap penyebaran virus Covid-19 yang semakin bertambah setiap harinya. Berdasarkan data statistik dari John Hopkins University, tercatat 203 juta kasus positif Covid-19 sejak tahun 2020 dengan jumlah kematian mencapai 4.29 juta jiwa. Hingga artikel ini ditulis, pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah telah melakukan sosialisasi pencegahan dan penularan virus Covid-19 melalui berbagai media, seperti iklan layanan masyarakat, poster, siaran radio, dan publisitas media. Sejauh ini, materi sosialisasi masih menggunakan bahasa ilmiah sehingga tak jarang masyarakat kesulitan memahami makna dari pesan yang disampaikan. Berdasarkan kondisi tersebut, tim pengabdian merancang bentuk sosialisasi pencegahan Covid-19 melalui media film pendek dengan menggunakan dialek atau logat Jawa Timur- an dengan konsep humor. Tujuannya agar pesan terkait protokol kesehatan dapat diterima, diingat, dan dipraktikkan oleh warga Jawa Timur. Penggunaan dialek Jawa Timur juga bertujuan untuk mengurangi kesenjangan pengetahuan dalam pesan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah pusat melalui Gugus Tugas Nasional Covid-19 dengan warga biasa. Dari hasil pre-test dan post-test, kami menemukan bahwa film pendek mampu menjadi sarana edukasi kesehatan, dimana jumlah responden yang berada dalam kategori sangat paham meningkat secara bervariasi dari 35 – 80% dalam setiap kategori. Hasil positif ini kami harap dapat menjadi langkah awal pengembangan dan penggunaan konten-konten kreatif yang diproduksi baik untuk kepentingan selama pandemi Covid-19 maupun tujuan edukatif lainnya.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.