Eklampsia dengan asma merupakan kondisi medis yang paling sering terjadi dalam kehamilan. Eklampsia dengan asma akut berat dalam kehamilan merupakan problem yang sulit. Kejadian eklampsia sekitar 2–8% diseluruh dunia dan merupakan penyebab kematian tertinggi kedua setelah perdarahan. Prevalensi terjadinya 0,3%–0,7% pada negara berkembang. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan elemen seluler yang mengakibatkan terjadinya hiperresponsif jalan nafas yang dapat menimbulkan gejala episodik berulang berupa wheezing, sesak nafas, dada berat dan batuk. Di Indonesia prevalensi berkisar 5-6% dari populasi penduduk, dimana serangan asma biasanya timbul pada usia kehamilan 24–36 minggu. Seorang wanita 28 tahun G1P0A0 datang hamil 35 minggu dengan keluhan sesak, nyeri kepala, kejang tiga kali, kaki bengkak. Dilakukan seksio sesarea dengan anestesi umum. Ventilator mekanik selama seksio sesarea harus disesuaikan untuk menjaga PCO2 30–32 mmHg. Intubasi dilakukan dengan rapid sequence induction dan setelah pipa endotrakheal masuk dijaga tekanan darah supaya tidak meningkat. Setelah operasi selesai dilakukan ekstubasi dalam untuk mencegah gejolak hemodinamik dan mengurangi iritasi saluran nafas. Pasca operasi pasien masuk intensive care unit untuk pemantauan lebih lanjut. Penanganan anestesi yang efektif pada pasien ini akan meningkatkan survival serta memberikan prognosis yang lebih baik Management of Anesthesia in Caesarean Section for Patient with Eclampsia and SevereAcute Asthma Abstract Eclampsia with asthma is the most common medical condition in pregnancy. Eclampsia with severe acute asthma in pregnancy is a difficult problem. The incidence of eckampsia is around 2–8% worldwide and is the second highest cause of death after bleeding. The prevalence of occurrence is 0.3% –0.7% in developing countries. Asthma is a chronic inflammatory airway disease that involves many cells and cellular elements that cause airway hyperresponsiveness which can cause recurrent episodic symptoms such as wheezing, shortness of breath, heavy chest and coughing. In Indonesia the prevalence ranges from 5–6% of the population, where asthma attacks usually occur at 24–36 weeks' gestation. A 28-year-old woman G1P0A0 comes 35 weeks pregnant with complaints of tightness, headache, seizures three times, swollen feet. Caesarean section was performed under general anesthesia. Mechanical ventilator during cesarean section must be adjusted to maintain PCO2 30–32 mmHg. Intubation was done by rapid sequence induction and after the endotracheal tube has been entered, the intracranial pressure is maintained so it did not increase. After the operation was complete, extubation was done to prevent hemodynamic fluctuations and reduce airway irritation. Postoperatively the patient was admitted to the intensive care unit for further monitoring. Effective anesthetic treatment in these patients will increase survival and provide a better prognosis
Latar belakang: Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) adalah adanya resistensi terhadap obat TB minimal 2 (dua) obat anti TB yang paling poten yaitu INH dan rifampisin secara bersama-sama atau disertai resistensi terhadap obat anti TB lini pertama lainnya seperti etambutol, streptomisin dan pirazinamid. Pemilihan anestesi spinal pada pasien ini merupakan bahan diskusi yang menarik.Kasus: Seorang wanita G2P1A0 dirujuk ke RSUP Dr Kariadi dengan diagnosa TB MDR. Pasien memiliki riwayat flek paru sejak usia 15 tahun. Pasien memiliki keluhan batuk lama saat kehamilan yang pertama dan sempat mengalami putus obat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sesak dengan kesadaran composmentis, BB 43kg, TB 160cm. Tekanan darah 130/80 mmHg, frekuensi nadi 112x/menit, laju napas 28 x/menit, dengan temperatur 37oC. Pada pemeriksaan mata didapatkan konjungtiva palpebra anemis. Pemeriksaan jantung normal dan paru terdengar suara ronki basah kasar di kedua lapang paru. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia dan trombositopenia. Pasien menjalani operasi seksio sesaria dengan anestesi spinal dengan bupivakain 0,5% 10 mg dengan tekanan darah awal 130/80 mmHg. Selama operasi dan pascaoperasi seksio sesaria, hemodinamik pasien stabil, tidak ditemukan hipotensi yang berat maupun kenaikan tekanan darah. Pasien kemudian dirawat di ruangan dengan perawatan pascaoperasi.Pembahasan: Pada penderita TB MDR, hampir seluruh lapang paru diisi oleh infiltrat. Anestesi regional sering disukai pada pasien dengan penyakit paru-paru kronis seperti tuberkulosis daripada anestesi umum untuk menghindari risiko hipersensitivitas pada otot polos bronkhial dan penyempitan saluran udara akibat proses inflamasi, yang dapat berdampak pada morbiditas dan mortalitas selama persalinan operatif. Ketersediaan tes fungsi paru akan sangat membantu ahli anestesi.Kesimpulan: Keadaan paru yang kurang baik dapat menjadi kontra indikasi untuk dilakukan anestesi umum.
Trombositopenia adalah hal yang umum muncul pada kehamilan normal, disebut trombositopenia berat bila jumlah trombosit <50.000 /µL. Komplikasi kehamilan oleh penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (Systemic Lupus Erythematosus = SLE) dapat menimbulkan trombositopenia berat patologis. Karena peran penting trombosit dalam pembekuan darah, dilain pihak proses persalinan akan menimbulkan perdarahan, maka dibutuhkan jumlah dan fungsi trombosit yang cukup. Trombositopenia-SLE berderajat berat perlu mendapat terapi untuk meningkatkan jumlah dan fungsi trombosit sebelum menjalani persalinan. Upaya peningkatan jumlah trombosit pada trombositopenia-SLE diawali dengan kortikosteroid sebagai terapi awal, dengan terapi alternatif lanjutan imunosupresif, splenektomi, plasmaferesis, trombopoetic, dan konsentrat trombosit. Pada kasus ini trombositopenia tidak dapat teratasi, sehingga pemeriksaan fungsional pembekuan darah bleeding time dan clotting time digunakan untuk membantu memperkirakan kemungkinan terjadi perdarahan berkelanjutan. Perhatian utama pada pemilihan tehnik anestesi kasus ini adalah kemungkinan terjadi perdarahan berkelanjutan, dalam hal ini dipilih yang dipertimbangkan berisiko terkecil yaitu total intravenous anesthesia (TIVA) dengan ketamin. Perawatan pasca operasi dilaksanakan juga dengan tetap mewaspadai kemungkinan terjadi perdarahan berkelanjutan. Severe Trombositopenia in Pregnant Woman with Sistemic Lupus Erythematosus Ongoing Caesarean Section Abstract Thrombocytopenia is a common occurrence in normal pregnancy, will classified as severe thrombocytopenia if platelet count <50.000/ µL. Pregnancy complicated by Systemic Lupus Erythematosus (SLE) can lead to pathological severe thrombocytopenia. As thrombocytes has a main role in haemostasis, and delivery process will always caused bleeding, thrombocytes needed in proper amount and function. Severe SLE-Thrombocytopenia has to treat aiming higher total thrombocytes and function before delivery. Effort in raising thrombocytes count on SLE-thrombocytopenia patients recommended starting from corticosteroid as first line treatment, followed by any alternatif therapy if thrombocytes count did not responds to corticosteroid therapy, such as immunosuppresif drugs, splenectomy, plasmapharesis, thrombopoetic drugs, and trombocyte concentrate. In this case, severe thrombocytopenia couldn’t be resolved, so then the bleeding time and clotting time taken as tools to estimate blood’s ability to coagulate. The main consideration on choosing anesthesia’s plan in this case is possibility condition to held uncontrolled bleeding. Therefore, the procedure with the lowest risk for maternal and fetal, total intravenous anesthesia with ketamin, had chosen. Caring for post operative SLE-thrombocytopenia patient should never ignoring vigilance for sustainable bleeding.
Emboli cairan amnion (EAK) adalah komplikasi kehamilan yang jarang namun membawa angka mortalitas yang tinggi. Patogenesis yang tepat dari kondisi ini masih belum diketahui. Emboli air ketuban (EAK) atau amniotic fluid embolism (AFE) atau anaphylactoid syndrome of pregnancy adalah salah satu komplikasi kehamilan yang paling membahayakan. Cairan ketuban, debris fetal diduga menyebabkan kolaps kardiovaskular dengan cara memicu reaksi imun/anafilaktoid maternal. Patofisiologi EAK hingga kini masih belum jelas tetapi diduga melibatkan kaskade immunologis. Kematian maternal bisa terjadi karena cardiac arrest mendadak, perdarahan karena koagulopati, dan kegagalan organ multipel dengan acute respiratory distess syndrome (ARDS). Gejala dan tanda EAK antara lain dispnea akut, batuk, hipotensi, sianosis, bradikardia fetal, ensefalopati, hipertensi pulmoner akut, koagulopati, dan sebagainya. Diagnosis EAK adalah bersifat klinis dan ditegakkan setelah menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. Penatalaksanaan bersifat suportif dan memerlukan persalinan janin jika diperlukan, support respiratorik, dan support hemodinamik. Prognosis maternal setelah EAK masih sangat buruk meski tingkat survival janin sekitar 70%. Pasien dengan EAK paling baik dikelola di unit perawatan kritis oleh tim multidisiplin dan dengan manajemen supportif. Amniotic Fluid Embolism Abstract Amniotic fluid embolism (AFE) is a rare complication of pregnancy carrying a high mortality rate. The exact pathogenesis of the condition is still not known. Amniotic fluid embolism (AFE) or anaphylactoid syndrome of pregnancy is one of the most dangerous pregnancy complications. Amniotic fluid, fetal debris is thought to cause cardiovascular collapse by triggering a maternal immune / maternal anaphylactoid reaction. The pathophysiology of AFE remains unclear but is thought to involve an immunological cascade. Maternal deaths may occur due to sudden cardiac arrest, bleeding due to coagulopathy, and multiple organ failure with ARDS. AFE symptoms and signs include acute dyspnea, cough, hypotension, cyanosis, fetal bradycardia, encephalopathy, acute pulmonary hypertension, coagulopathy. Management is supportive, respiratory support, and haemodynamic support. The maternal prognosis is very poor even though the survival rate of the fetus is about 70%. Patients with AFE are best managed in a critical care unit by a multidisciplinary team and management is largely supportive
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.