This study revealed the behavior of heavy rainfall before landslide event based on the Weather Research Forecasting (WRF) model. Simulations were carried out to capture the heavy rainfall patterns on 27 November 2018 in Kulonprogo, Yogyakarta. The modeling was performed with three different planetary boundary layer schemes, namely: Yonsei University (YSU), Sin-Hong (SH) and Bougeault and Lacarrere (BL). Our results indicated that the variation of rainfall distribution were small among schemes. The finding revealed that the model was able to capture the radar’s rainfall pattern. Based on statistical metric, WRF-YSU scheme was the best outperforming to predict a temporal pattern. Further, the study showed a pattern of rainfall development coming from the southern coastal of Java before 13:00 LT (Local Time=WIB=UTC+7) and continued to inland after 13:00 LT. During these periods, the new clouds were developed. Based on our analysis, the cloud formation that generated rainfall started at 10:00 LT, and hit a peak at 13:00 LT. A starting time of cloud generating rainfall may be an early indicator of landslide.
Pada kajian ini dilakukan evaluasi penggunaan beberapa skema konvektif pada model WRF (Weather Research and Forecasting) untuk prediksi cuaca di wilayah Indonesia. Terdapat tiga skema konvektif yang akan dievaluasi yaitu; skema konvektif cumulus BMJ (Betts Miller Janjic), KF (Kain Fritsch), dan GD (Grell 3D ensemble). Data yang digunakan untuk evaluasi adalah data curah hujan per 3 jam dan data angin per 12 jam (level ketinggian; permukaan, 850, 500, 250 mb) dari hasil pengolahan model WRF dan observasi selama periode bulan Agustus 2011 dan Februari 2012 di stasiun Juanda-Surabaya dan Cengkareng-Jakarta. Hasil verifikasi dari tiga skema konvektif pada model WRF terhadap data observasi menunjukkan bahwa untuk prakiraan curah hujan, penggunaan skema konvektif BMJ lebih baik dari skema KF dan GD, dan untuk prakiraan arah dan kecepatan angin skema BMJ dan GD relatif lebih baik dari skema KF. Berdasarkan analisis hasil verifikasi yang diperoleh, pemilihan skema konvektif cumulus BMJ cenderung lebih baik dari skema konvektif KF dan GD untuk di aplikasikan pada model WRF.
Suhu muka laut mempunyai peranan dalam penguapan air laut yang selanjutnya membentuk awan-awan hujan. Laut Jawa mempunyai peranan yang unik karena posisinya yang terletak di antara 4 pulau besar di Indonesia. Karakteristik anomali suhu muka laut di Laut Jawa diidentifikasi dengan mengaplikasikan Principal Component Analysis (PCA), data anomali suhu muka laut rata-rata bulanan dari Optimum Interpolation Sea Surface Temperature version 2 (OISSTv2) periode 1982-2014. Diperoleh hasil dengan tiga komponen utama dominan mempunyai keragaman sekitar 83.22%. PC1 dengan karakter spasial mempunyai nilai positif pada seluruh wilayahnya dan mempunyai keragaman 65.30%. Faktor dominan anomali suhu muka laut pada Laut Jawa bukanlah karena siklus semi tahunan atau tahunan, namun ada faktor lain yang teridentifikasi. Ada dua faktor yang teridentifikasi sebagai pengaruh lokal tersebut, yaitu kedalaman laut dan jarak pulau besar terdekat. PC2 dengan karakter spasial sama dengan rata-rata anomali suhu muka laut yaitu nilai positif lebih dominan di pesisir pantai dibanding dengan tengah Laut Jawa dan dipengaruhi pola musiman sekitar 12.44%. PC3 dengan karakter spasial terdapat dua kutub yaitu Laut Jawa bagian barat dengan nilai positif dan Laut Jawa bagian timur dengan nilai negatif yang dipengaruhi siklus 6 bulanan dan juga musiman sekitar 5.84%.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.