Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan Wetfix BE pada beton aspal campuran panas bergradasi superpave untuk lapis aus perkerasan lentur, dilihat dari aspek mutu, yaitu karakteristik Marshall, deformasi dan kekesatan permukaan, serta biaya. Pada penelitian ini variasi penggunaan Wetfix BE yang di gunakan adalah 0.0%, 0.2%, 0.3%, dan 0.4% dari KAO 6%. Dari hasil penelitian yang didapat penggunaan Wetfix BE dalam campuran aspal tidak sepenuhnya meningkatkan nilai karakteristik Marshall karena ada beberapa sifat Marhall seperti pelelehan dan Marshall Quotient yang tidak memenuhi spesifikasi. Nilai Mu-Meter untuk campuran tanpa dan dengan menggunakan Wetfix BE memenuhi persyaratan, yaitu lebih dari 0.33 Mu-Meter, dengan demikian maka permukaan jalan memiliki tahanan gesek antara ban dan permukaan jalan yang cukup baik. Dari hasil pengujian alur roda pada suhu 60
Keramasan Bridge 2 is a bridge with an age of more than 30 years, so it is necessary to review its feasibility and serviceability. Based on visual observations, there are signs of cracks in the transverse and longitudinal directions on the bridge floor. Based on the results of the loading test, it is stated that the deflection on the girder has exceeded the allowable deflection, and the cause of the longitudinal floor crack is caused by the non-uniform vertical movement of the girder. Based on this, it is necessary to strengthen the superstructure first before repairing the bridge floor. The strengthening of the superstructure is carried out by installing a diaphragm between the girders. The diaphragm is an angled steel profile of 100 mm x 100 mm with a thickness of 10 mm. To determine the number and position of diaphragms, two alternatives were analyzed. The first alternative is to add three diaphragms at every 6.275 m distance and the second alternative is the diaphragm at every 3 m distance. The results of the analysis show that the deflection that occurs between the girders after the installation of the diaphragm is uniform. The installation of diaphragms with a distance of 6.275 m and 3 m can increase the uniformity of the girder structure up to 8.12 times and 6.60 times respectively. Whereas the installation of diaphragms with a distance of 6.275 m and 3 m can increase the stiffness of the girder structure up to 10.96 times and 11.26 times, respectively. This shows that adding a diaphragm can provide rigidity and compactness between the girders.
Dalam pengembangan jalan, tantangan utama adalah perkerasan jalan khususnya aspal beton yang cepat rusak. Tipe kerusakan yang umum dijumpai di Indonesia adalah kerusakan permukaan sebelum waktunya, gejala-gejala yang terlihat adalah pengelupasan permukaan, permukaan yang bergelombang/beralur (rutting), pelepasan butiran dan keretakan. Kerusakan tipikal tersebut untuk lapisan perkerasan aspal beton, biasanya disebabkan kelekatan aspal yang rendah, hal ini ditandai pelepasan butir akibat tidak lagi kohesi oleh aspal akhirnya memberikan kesempatan air untuk menerobos masuk dan menghancurkan matrik beton aspal. Akibatnya campuran menjadi lepas-lepas dan banyak pengelupasan aspal pada lapis permukaan. Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan kajian modifikasi campuran beton aspal bergradasi senjang untuk Lataston HRS-WC dengan menggunakan bahan anti stripping. Adapun tujuan dengan melakukan penelitian tersebut adalah mendapatkan pengaruh bahan anti stripping pada campuran beton aspal bergradasi senjang terhadap propertis hasil pengujian Marshall sesuai dengan spesifikasi Bina Marga 2018. Dari hasil pengujian yang dilakukan didapatkan Kadar Aspal Optimum (KAO) 7.4%. Dengan nilai KAO tersebut di buat sampel pengujian dengan penambahan Wetfix Be dengan kadar 0,20% ; 0,30% ; 0,40% dan 0,50%. Hasil yang didapatkan dengan penambahan Wetfix Be 0,30% meningkatkan nilai stabilitas menjadi 1423,12 kg dan Mashall quotient menjadi 400,88 kg/mm. Nilai Marshall Quotent yang tinggi menunjukkan campuran menjadi kaku dan fleksibilitas rendah.
Kemacetan lalu lintas diberbagai lokasi menyebabkan menurunnya tingkat pelayanan ruas jalan dan persimpangan. Untuk mengendalikan tingkat kemacetan persimpangan diperlukan perbaikan kinerja simpang untuk mungurangi hambatan, meningkatkan kapasitas, dan mengurangi kecelakaan. Tujuan dari Tugas Akhir ini untuk membantu menyelesaikan permasalahan kemacetan yang terjadi pada Simpang Tlajung Gunung Putri. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh melalui survei lapangan serta data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor dan berbagai jurnal. Metode analisis data menggunakan perhitungan manual sesuai dengan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI 1997). Kondisi eksisting Simpang Tlajung Gunung Putri setelah dianalisis menunjukkan hasil buruk dengan kapasitas sebesar 3676,509 smp/jam; volume kendaraan sebesar 5622,27 smp/jam; derajat kejenuhan (DS) sebesar 1,53; tundaan simpang (D) sebesar -22,532 det/smp; peluang antrean sebesar 218% (batas atas) dan 100% (batas bawah); dan memiliki tingkat pelayanan simpang yang sangat buruk. Dalam mengatasi permasalahan kinerja Simpang Tlajung Gunung Putri dilakukan 9 (sembilan) alternatif solusi. Pemecahan masalah yang digunakan adalah alternatif solusi terakhir yaitu gabungan antara pemasangan rambu dilarang berhenti, pembatasan jam operasional kendaraan berat, pelarangan belok kanan dari pendekat Selatan (Jalan Raya Narogong Arah Cileungsi), pendekat Timur (Jalan Raya Wanaherang) dibuat 1 (satu) arah menuju Jalan Alternatif Cibubur, dan pendekat Selatan (Jalan Raya Narogong Arah Cileungsi) dibuat 1 (satu) arah menuju ke arah Gunung Putri yang menunjukkan nilai kapasitas 5695,091 smp/jam; derajat kejenuhan 0,75; tundaan 12,297 det/smp; peluang antrean 23% ? 46%; dan memiliki tingkat pelayanan dalam kategori B yang berarti kinerja simpang dalam keadaan baik.
Pada tahun 2007 untuk pertama kalinya diterapkan sistem pengumpulan tol elektronis untuk mengatasi permasalahan antrian panjang pada gerbang tol, akan tetapi penerapannya hanya terbatas pada beberapa ruas tol saja yang ada di Indonesia. Setelah itu tahun 2017 Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengeluarkan peraturan Nomor 16/PRT/M/2017 tentang Transaksi Tol Nontunai di Jalan Tol, tanggal 31 Oktober 2017 untuk menerapkan sistem pengumpulan tol elektronis di seluruh gerbang tol di Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi terhadap penerapan sistem transaksi elektronis yang telah diterapkan saat ini. Dari analisis didapatkan dengan sistem elektronis ini waktu transaksi rata-rata untuk GTO 3 detik dan GSO 3,6 detik sehingga memenuhi SPM Jalan Tol yaitu kurang dari 5 detik. Untuk hasil perhitungan kapasitas, gardu nirsentuh memiliki kapasitas yang paling besar dibandingkan GTO dan GSO. Serta untuk analisis antrian dengan kapasitas gardu yang lebih besar dibandingkan dengan tingkat kedatangan kendaraan pada seluruh tipe gardu maka tidak terjadi antrian di gardu. Disisi lain dengan diterapkannya sistem pengumpulan tol elektronis saat ini 86% responden merasa puas dan ada beberapa keuntungan yang didapatkan oleh operator tol seperti menurunnya biaya operasi gardu. Kedepannya BUJT telah melakukan persiapan untuk penerapan transaksi berbasis nirsentuh dengan melakukan koordinasi antar operator tol mengenai sistem dan proses teknologi yang akan diterapkan.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.