Childfree, who is committed to withholding children, is seen as the basis for a couple to reach their desired goals, but on the other hand, Indonesian socio-cultural aspects, both legally and culturally, require that they have offspring. From this phenomenon, this article describes the concept of childfree which is responded to by the Qur'an with various interpretations. In this case, the main argument for responding to childfree is Q.S. Ali 'Imran: 38-39 which gives an understanding of the commitment to have children. The theory used in this research is the theory of maqāṣid interpretation analysis which was coined by Abdul Mustaqim. This theory reveals the message behind the meaning of the Qur'an, in this case examining maqāṣid on childfree responses which are considered the principle of freedom. This research is a type of library research that uses data sources in the form of journal articles, books, and other documentary data with the same theme. The results of this study are that there are no specific verses discussing childfree and there are values of maqāṣid that appear, namely hifzhh al-din containing the continuity of religious development, hifzhh al-nasl the existence of gaps that occur in the future, and hifzh al- look at the quality of society and the condition of the people's welfare. AbstrakChildfree yang berkomitmen untuk menahan memiliki anak dipandang sebagai landasan pasutri untuk menggapai cita-cita yang diinginkan, tetapi di sisi lain sosio-kultural Indonesia baik secara undang-undang maupun budaya masyarakat mengharuskan memiliki keturunan. Dari fenomena tersebut artikel ini menguraikan konsep childfree yang direspon oleh Alqurandengan berbagai penafsirannya. Dalam hal ini yang menjadi dalil utama untuk merespon childfree adalah Q.S. Ali ‘Imran: 38-39 yang memberikan pemahaman atas komitmen untuk memiliki keturunan. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori analisis tafsir maqāṣid yang dicetuskan oleh Abdul Mustaqim. Teori ini mengungkapkan pesan dibalik makna al-Qur’an, dalam hal ini mengkaji maqāṣid atas respon childfree yang dianggap sebagai prinsip kebebasan. Penelitian ini berjenis library research yang menggunakan sumber data berupa artikel jurnal, buku, serta data dokumentar lain yang setema. Hasil penelitian ini adalah ayat yang spesifik membicarakan childfree tidak ditemukan dan adanya nilai-nilai maqāṣid yang muncul yaitu hifzh al-din memuat adanya kontinuitas perkembangan agama, hifzh al-nasl adanya kesenjangan yang terjadi di masa depan, dan hifzh al-daulah melihat kualitas masyarakat dan kondisi kesejahteraan rakyat. Kata Kunci: Interpretasi; Ma’na Cum Maghza; QS. Ar-Rahman:33; Sulthan.
This paper examines the meaning of shifa in the Qur'an as stated in Q.S. Al-Israa [17]: 82 which can be used as a means of treating various diseases, both psychological and physical. Employing the semiotic theory of Roland Barthes consisting of two stages (the linguistic system which is also interpreted as denotative meaning and the system of mythology (myth) as connotative meaning), the results obtained that shifa is not only oriented to the psychic alone, but to healing both the psychic (spiritual) and physical. The message contained in the verse is that it is recommended to do treatment using the Qur'an, with lawful (halal) practices, and it is not allowed to practice medical treatment that can classify to shirk such as using magic spells, mediation of belief in objects, sacred places of worship, and other things that are superstitious. Tulisan ini mengkaji tentang makna syifa dalam Al-Qur'an sebagaimana tertuang dalam Q.S. Al-Israa [17]: 82 yang dapat digunakan sebagai sarana pengobatan berbagai penyakit, baik psikis maupun fisik. Dengan menggunakan teori semiotika Roland Barthes yang terdiri dari dua tahap (sistem linguistik yang juga diartikan sebagai makna denotatif dan sistem mitologi (mitos) sebagai makna konotatif), diperoleh hasil bahwa syifa tidak hanya berorientasi pada psikis saja, tetapi untuk penyembuhan baik psikis (spiritual) maupun fisik. Pesan yang terkandung dalam ayat tersebut adalah dianjurkan untuk melakukan pengobatan dengan menggunakan Al-Qur'an, dengan praktik yang halal dan tidak diperbolehkan melakukan praktik pengobatan yang dapat digolongkan ke dalam syirik seperti menggunakan mantra sihir, perantaraan benda-benda, tempat-tempat ibadah yang keramat, dan hal-hal lain yang bersifat takhayul.
The Qur'an with all the words and sentences in it always gives birth to a double meaning. In accordance with the point of view, the approach used is the interpreter or reader. One of the words reviewed is sulthan, because the word contains variations in meaning depending on the syntax of the sentence before and after and the context that accompanies it. Therefore, this study reveals the meaning of the word sulthan from the verse Q.S. Ar-Rahman (55): 33. The theoretical approach used is the theory of ma'na cum maghza which was pioneered by Sahiron Syamsuddin as a hermeneutic lighter at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. With the description-analysis analysis method as well as the primary source in the form of the interpretation of the word sultan from various books of interpretation and also the Qur'an itself. Then secondary sources in the form of studies related to the theme of discussion, either in the form of journals, books, and so on. The results of this study are first, this verse is used as a reference source for the science of astronomy to explore the universe, because it expresses the invitation to penetrate the heavens and the earth. Second, the word sulthan in Surah Ar-Rahman verse 33 describes the power and power of Allah over his supervision of humans and jinn. Third, in depth the Qur'an through Surah Ar-Rahman verse 33 is a proof of Allah's power. AbstrakAl-Qur’an dengan segala kata dan kalimat di dalamnya selalu melahirkan makna ganda. Sesuai dengan sudut pandang, pendekatan yang digunakan mufassir atau pembaca. Salah satu kata yang diulas adalah sulthan, karena kata tersebut mengandung variasi makna tergantung kepada sintaksis kalimat sebelum dan sesudah serta konteks yang menyertainya. Oleh karena itu, penelitian ini mengungkapkan makna kata sulthan dari ayat Q.S. Ar-Rahman (55): 33. Adapun teori pendekatan yang digunakan adalah teori ma’na cum maghza yang dipelopori oleh Sahiron Syamsuddin selaku pemantik hermeneutika di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan metode analisis deskripsi-analisis serta sumber primer berupa penafsiran kata sulthan dari berbagai kitab tafsir dan juga al-Qur’an itu sendiri. Kemudian sumber sekunder berupa kajian-kajian yang terkait dengan tema pembahasan, baik berupa jurnal, buku, dan lain sebagainya. Adapun hasil penelitian ini adalah pertama, ayat ini dijadikan sumber rujukan tentang ilmu astronomi untuk menjelajahi alam semesta, karena di dalamnya mengungkapkan dipersilahkannya menembus langit dan bumi. Kedua, kata sulthan dalam surah Ar-Rahman ayat 33 mendeskripsikan tentang kekuatan dan kekuasaan Allah terhadap pengawasannya kepada manusia dan jin. Ketiga, secara mendalam al-Qur’an melalui surah Ar-Rahman ayat 33 ini sebagai bukti kekuasaan Allah Kata Kunci: Interpretasi; Ma’na-Cum-Maghza; QS. ar-Rahman: 33; Sulthan.
Artikel ini mengkaji fenomena pendidikan bagi penyandang difabel dalam Q.S. ‘Abasa: 1-11. Kajian ini menggunakan pendekatan teori ma’na cum maghza yang digagas oleh Sahiron Syamsuddin. Diskursus ini muncul dari problem rendahnya akses pendidikan bagi kalangan penyandang difabel. Melalui kajian ma’na cum maghza, dengan menggunakan pendekatan linguistic dan konteks-historis menghasilkan signifikansi yang tidak dibatasi dalam moralitas saja, tetapi adanya upaya penyetaraan pendidikan bagi kalangan difabel. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa inklusif akses pendidikan bagi penyandang difabel harus jauh lebih ditingkatkan lagi, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan penyandang difabel
The response of the mufassir towards some muqatha'ah letters is just silence it without any attempt at interpretation. Meanwhile, Maulana Muhammad Ali is a twentieth century mufasir who interpreted the letters muqatha'ah by using several poems and sya'ir as references, but also had a view of his own. Therefore, it is interesting to trace Maulana Muhammad Ali's interpretation of the letters muqatha'ah / as well as the Ahmadiyah ideology inherent in Maulana Ali. The type of this research is a research library that examines written polemic about muqatha'ah letters. This study uses an interpretive approach that describes Maulana Muhammad Ali's interpretation of the muqatha'ah letters in his book. Also shows the dynamics of the meaning of the muqatha'ah letters from various tafsir books. The meaning of الم is defined as "I, Allah, Who Knows All". ا I, ل Allah, and م who is all-knowing. This interpretation is one of Maulana Muhammad Ali's interpretations of the Muqatha'ah letters.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.