Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam hal ini adalah pembatalan Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang telah dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri menjalankan kewenanganya yang telah di atur dalam Undang-undang tersebut. Tetapi disisi lain apa yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri menimbulkan permasalahan baru dimana kewenangan itu masuk dalam ranah yudisial. Sehingga Asosiasi Pemerintah Daerah melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk judicial review. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa kewenangan itu dimiliki oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat. Tetapi pada 14/6/2017 Mahkamah Konstitusi kembali menguji putusan tersebut bertentangan dengan UUD’45 sehingga satu-satunya yang berwenang membatalkan Peraturan Daerah adalah Magkamah Agung, putusan itu sekaligus mengakhiri dualisme perbedaan tafsir dua lembaga negara dalam melakukan kewenannganya. Adapun implikasi yang terjadi yakni adanya perubahan politik hukum, yang mengharuskan Pemerintah untuk segera mengoptimalkan fungsi pengawasan preventif terhadap rancangan peraturan-peraturan daerah sebelum disahkan dan dinyatakan berlaku untuk umum. Adapun metode dalam penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu penelitian law in book atau studi kepustakaan dengan pendekatan melalui peraturan perundang-undangan (statute approach atau legislation regulation approach), konseptual (conceptual approach), sejarah (historical approach), perbandingan (comparative approach) dan sistem (system approach). Adapun kosentrasi penelitian ini terkait dengan kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding. Yaitu, tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh lagi setelah putusan Mahakamah Konstitui dibacakan, hal itu berbeda dengan putusan pengadilan lainnya yang masih memungkinkan adanya upaya hukum seperti adanya kasasi atau Peninjauan Kembali. Maka dengan begitu putusan Mahkamah Konstitusi membawa perubahan implikasi politik hukum terhadap pemerintah yang hanya bisa melakukan pengawasan melalui a-priori review. Probelematika lain yang terjadi adalah menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi yang apabila dilihat pada Pasal (24C) Ayat (1) UUD’45 dapat ditemukan frasa “final”, tetapi tidak ditemukan frasa “mengikat” celah inilah yang kemudian putusan Mahkamah Konstitusi seringkali diabaikan/tidak dilaksanakan. Maka untuk dapat memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum, diperlukan adanya harmonisasi perundang-undangan untuk memuat yurisprudensi ke dalam hirarki Perundang-undangan dengan cara merevisi UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai alternatif bahwa, sifat yurisprudensi itu sendiri tidak cocok apabila diterapkan dalam negara yang menganut hukum civil law/Eropa Kontinental, berbeda dengan sifat yurisprudensi yang diterapkan pada negara yang menganut hukum common law/anglo saxon.
The division of power in the government system is an effort in cheking and balancing the interaction between agencies in the governance activity, and preventing power to be held by only one hand. Amandement of The Indonesian Constitution 1945 by Indonesia government is a step to represent the democrazy an constitution of the state, according to the constitusional system. The Amandement consists same changes to the Indonesian constitution, related to the check and balance of power. Firstly it has one agency which level is decreased from the highest agency into a high level agency.Secondly, the amandement has several agencies to experience a reduction and a boost up of power; More ever, a new agency is being establishedi as an impact of the amandement. Due to the alteration in the constitution system, the Parliament, at present, has very limited authority. It only responsible for composing amandement of the Constitution 1945, installing the President aand Vice President, and also addressing empeachement. Ironically, with so few duties, its existence still absorb a big budget.
Law No. 30/ 2014 on Government Administration brings the strength and the averment on the performance of the governmental functions which include executive, legislative, and juridical in order to provide the public services (bestuurzorg). Such regulation also aims to prevent and to eliminate any kinds of the maladministration done by the government officials/organs in implementing their functions so that good governance can be realized. In implementing their function, the government should rely on the useful performance (doelmatigheid) and the effectiveness (doeltreffenhgeid) according to the norms of each authority.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.