ABSTRAKRendahnya harga karet menjadi masalah serius bagi petani karet. Sistem tumpang sari berbasis karet dengan tanaman ekonomis lainnya memberikan solusi untuk masalah ini, dan dapat meningkatkan produktivitas secara keseluruhan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaturan tata ruang pola tanam karet yang cocok untuk tumpang sari berbasis karet jangka panjang. Pengkajian dilaksanakan di perkebunan karet rakyat di Kabupaten Tanah The experiment showed that the girth of rubber trees in the SR system at the first tapping year was slightly bigger than that in the DR system, however, it was not statistically significant. The latex yield per tree of SR system was the same as the DR system, however latex yield per hectare of SR system has higher than the DR system, because the SR system have more population than the DR system. The DR system was proved to be a suitable planting system for long-term rubber based intercropping systems.Keywords: hevea, intercropping system, rubber planting pattern, spatial arrangement PENDAHULUAN Fluktuasi harga karet menjadi masalah serius bagi petani karet. Sistem tumpang sari berbasis karet dengan tanaman ekonomis lainnya memberikan solusi untuk masalah ini. Sistem ini dapat meningkatkan produktivitas secara keseluruhan baik produktivitas lahannya maupun produktivitas karetnya. Menurut Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (2016), rata-rata harga karet tertinggi terjadi pada tahun 2011 sebesar US$4,5 per kg SIR 20, selanjutnya harga karet terus menurun sampai pada tahun 2016 sebesar US$1,3 per kg SIR 20. Menurut Syarifah et al. (2015) dan Regina (2016), dampak negatif turunnya harga karet bagi petani adalah: 1) Banyak petani yang menghentikan kegiatan usaha tani karetnya dan beralih profesi; 2) Banyak lahan karet yang dikonversi ke komoditas lain; 3) Daya beli masyarakat menjadi lemah; 4) Tingkat kesejahteraan masyarakat menurun; 5) Banyak kredit kendaraan yang macet; 6) Kejahatan meningkat; dan 7) Kualitas kesehatan dan pendidikan menjadi rendah.Berdasarkan kondisi di atas, maka diperlukan upaya-upaya untuk mempertahankan produksi karet Indonesia dengan meningkatkan produktivitas lahannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pengembangan tanaman sela di antara tanaman karet. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dengan menanam tanaman sela di antara tanaman karet dapat meningkatkan pendapatan petani, bahan organik tanah meningkat, kesuburan
ABSTRAKBibit karet dalam polibag memiliki kelemahan yaitu akar tunggangnya membentuk spiral mengikuti bentuk lingkaran dasar polibag. Hal ini akan merugikan tanaman karena akar tunggang yang melingkar menyebabkan kedalaman akar tunggang menjadi berkurang karena akar tidak langsung tumbuh ke bawah. Hal ini mengakibatkan kemampuan tanaman dalam menyerap air dan hara menjadi berkurang dan tanaman menjadi rentan tumbang karena terpaan angin yang kuat di lapangan. Upaya untuk mengatasi kelemahan bibit karet dalam polibag adalah mengembangkan bibit karet dalam root trainer. Root trainer adalah pot untuk menumbuhkan bibit yang berasal dari biji (seedling), biasanya terbuat dari plastik, berbentuk silindris maupun kotak yang mengecil di bagian bawah, dilengkapi dengan lubang drainase di bagian bawah dan sekat vertikal di bagian dalam dinding dalam root trainer. Penggunaan root trainer memungkinkan akar tunggang mengarah ke bawah karena adanya sekat yang menonjol di bagian dinding root trainer. Selain itu, penanaman bibit karet dapat ditunda apabila keadaan belum memungkinkan karena bibit dapat menjadi dorman selama proses penguatan (hardening). Untuk mendapatkan bibit karet dalam root trainer yang berkualitas, diperlukan formulasi media tanam, pemupukan, dan irigasi yang tepat. PENDAHULUAN Salah satu kunci keberhasilan dalam budi daya tanaman karet adalah kualitas bibit yang digunakan. Bibit karet yang berkualitas baik akan menampilkan pertumbuhan yang cepat, terutama jika ditanam pada lingkungan yang sesuai dan diikuti dengan pemeliharaan yang baik. Pada kondisi yang optimal, tanaman karet dapat disadap pada umur kurang dari empat tahun.Hingga saat ini, perbanyakan tanaman karet masih menggunakan teknik okulasi. Okulasi dapat dilakukan pada batang bawah yang ditanam di lahan pembibitan (ground nursery) maupun yang ditanam langsung di polibag. Okulasi di lahan pembibitan dapat dilakukan dengan teknik okulasi dini, hijau, maupun cokelat (hingga batang bawah berumur 18 bulan), sedangkan okulasi di polibag dapat dilakukan dengan teknik okulasi dini dan okulasi hijau (hingga batang bawah berumur enam bulan). Hasil dari okulasi di polibag adalah bibit karet dalam polibag, sedangkan hasil dari okulasi di lahan pembibitan adalah stum mata tidur, stum mini, atau stum tinggi. Stum mata tidur dapat ditanam lagi di polibag atau langsung di lapangan, sedangkan stum mini dan stum tinggi lebih banyak digunakan untuk keperluan penyulaman (Amypalupy 2012).Dibandingkan dengan bibit karet stum mata tidur, jenis bibit karet yang banyak ditanam di lapangan adalah bibit karet dalam polibag, baik dengan satu maupun dua payung daun. Bibit polibag lebih banyak digunakan karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu persentase kematian di lapangan rendah, pertumbuhannya lebih
ABSTRAK Secara umum produksi karet dipengaruhi oleh fluktuasi curah hujan setiap bulan. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh curah hujan, evapotranspirasi, dan ketersediaan air lahan terhadap produksi karet klon PB260. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Sembawa, Sumatera Selatan pada tahun 20132016. Plot penelitian yang digunakan adalah tanaman menghasilkan klon PB260 tahun tanam 2002 dengan tekstur tanah clay loam. Penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan produksi tanaman karet pada saat musim hujan dan kemarau dari tahun 20132016. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air tanah merupakan parameter yang paling berpengaruh terhadap hasil lateks tanaman karet klon PB260 dibandingkan dengan parameter curah hujan dan evapotranspirasi. Hasil lateks menurun dengan berkurangnya kandungan air tanah pada periode bulan kering. Kurangnya air pada bulan kering menjadi faktor pembatas untuk hasil karet yang optimal. Ketika kadar air tanah turun hingga di bawah 100 mm, hasil lateks maksimal yang dapat dicapai oleh tanaman karet adalah sebesar 18 g/p/s. Kata kunci: kandungan air tanah, klon PB260, neraca air lahan, produksi karet ABSTRACT In general, rubber production was influenced by fluctuation of monthly rainfall rate. This research was aimed to determine the effect of rainfall, evapotranspiration, and soil water content on the production of PB260 rubber clone. This research was conducted at Sembawa Research Centre Experimental Field, South Sumatera from the year 20132016. The observed rubber tree was mature PB260 clone planted on clay loam soil. Rubber productions on the dry and rainy season on 20132016 were compared to determine the effect of rainfall on rubber production. The results showed that soil water content has the closest relationship to rubber production compared to rainfall and evapotranspiration parameter. Latex yield was decreasing as the decrease of soil water content at dry season. Limited water during the dry season became a constraint of optimum rubber yield. When soil water content drops below 100 mm, the maximum attained latex yield was 18 g/t/t.
Low prices of rubber has been a serious problem to rubber smallholders in Indonesia. Rubber-based intercropping systems offers a practical solution to this issue and increasing overall productivity of intercrops, for example upland rice and maize. This study reviewed the suitable spatial arrangements in rubber planting to long term impact based intercropping systems. A field experiment was established in a smallholder rubber plantation in Tanah Laut Regency, South Kalimantan with area of 50 ha. Two planting patterns of rubber PB 260 clone were tested: (1) single row planting pattern (SR) by 6 m x 3 m, and (2) double row planting pattern (DR) by 18 m x 2 m x 2.5 m. The experiment showed that girth of rubber trees in the SR system at the first tapping year was slightly larger than in DR system, even though statistically it was not significant. The latex yield per tree of SR and DR systems were similar, however, latex yield per hectare of SR system was higher than DR system due to a higher tree population in SR system. The DR system was technically suitable for long term intercropping, because when rubber tree can reached 8 to 9 years old and light penetration was more than 80% at distance from the rubber row. The total area required for rubber, upland rice and maize grown in monoculture to produce an equivalent of a one hectare of rubber-upland rice-maize intercrop is 1.87. This means the intercropping has an advantage compared to monoculture.
More than 75 percent of households growing maize and soybean adopts the monoculture method. The relay cropping of soybean-maize is a strategic choice to increase the planted area and productivity of these two commodities' sustainability in tidal swamps. The research aimed to study the land equivalent ratio (LER), determine the best planting spacing and soybean varieties, and the best relay cropping of maize on saturated soil culture in tidal swamps. The experiment was on mineral soils with type B tidal swamps, in Banyuasin, South Sumatra, from July to December 2022. The experiment used a three-factor randomized complete block design with three replications. The first factor was soybean varieties: Argomulyo, Gepak Kuning, Detap 1, and Demas 1, the second factor was soybean planting spacing: 78 cm x 15 cm x 12.5 cm and 60 cm x 40 cm x 10 cm, and the third factor was the relay cropping of maize: 30 and 45 days after planting (DAP) of soybeans. Results showed that plant height, number of leaves, number of branches, filled pods, 100 seeds weight, and seed yield were influenced significantly by varieties. Demas 1 variety produced a higher seed yield, with relay cropping and monoculture, i.e., 4.2 tons ha-1 and 4.1 tons ha-1, respectively. Plant height, stem diameters, number of leaves, 100 grains weight, and grain yield in maize were significantly higher at soybean planting spacing of 78 cm x 15 cm x 12.5 cm and relay cropping at 30 DAP. The LER values > 1, indicated that relay cropping increased land productivity as compared to monoculture cultivation. The LER at relay cropping of 30 DAP was significantly highest for Argomulyo and Detap 1 varieties, i.e., 1.8 and 1.8, respectively. Keywords: Land equivalent ratio, planting spacing, relay cropping, saturated soil culture, tidal swamps
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.