Since the implementation of Sharia law in Aceh in 2001, the idea of Islam has always been related to Islamic yurisprudence. This has denied the aspect of spirituality in Sufi order (tariqa) which is actually the root of Islam in Aceh. Moreover, Sufi order in Aceh is like ducking and disappeared from the surface. Does the inconspicuious Sufi order attributable to the implementation of Sharia law? The answer is no. This paper attempts to explore the patterns of adaptation and transformation of Sufi orders movements in Aceh after the great wave in December 2004. I look at three different examples of Sufi orders; First, the Tawhid Tasawuf Study Council (Majelis Pengkajian Tauhid Tasawuf; MPTT) Syekh Haji Amran Wali who represents the Naqshabandi al-Khalidi congregation (South Aceh and Banda Aceh). Second, the Tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah (TQN) which led by Tgk. Sulfanwandi (Aceh Besar and Banda Aceh). Third, the Naqshabandi al-Haqqani order led by Ustaz Zamhuri (Banda Aceh). I found several patterns of tarekat adaptation to policies and Islamic society's trends in Islamic law. MPTT Amran Waly tends to re-interpret the classical Sufism doctrines, which considered contrary to the Sharia. TQN Sulfanwandi takes spirituality service while maintaining the urban lifestyle. While Haqqaniyah Ustaz Zamhuri made a pattern of cultural arts adaptation to show his tarekat as part of the life pattern of classical Acehnese Sufi scholars. The three tarekat groups seem to emphasize more on aspects of religious spirituality as an inseparable part of the development of modern society. Or in other words, it remains religiously valid even though it is modern in worldly life. Abstrak: Sejak penerapan syariat Islam di Aceh tahun 2001, ide tentang Islam selalu terkait dengan hukum Islam. Hal ini telah menafikan aspek spiritualitas dalam tarekat yang padahal merupakan akar Islam di Aceh. Apalagi kelompok-kelompok tarekat seperti merunduk dan tidak menampakkan diri ke permukaan. Namun, apakah kelompok tarekat benar-benar menghilang dari Aceh karena pemberlakukan syariat Islam? Kenyataannya tidak. Makalah ini akan mencoba menelusuri bagaiman pola adaptasi dan transformasi gerakan tarekat di Aceh pasca tsunami pada Desember 2004. Penulis mengambil tiga contoh tarekat yang berbeda; Pertama, Majelis Pengkajian Tawhid Tasawuf (MPTT) Syekh Haji Amran Wali sebagai representasi tarekat Naqsyabandi al-Khalidi (Aceh Selatan dan Banda Aceh). Kedua, Tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah (TQN) pimpinan Tgk. Sulfanwandi (Aceh Besar dan Banda Aceh). Ketiga, tarekat Naqsyabandi al-Haqqani pimpinan Ustaz Zamhuri (Banda Aceh). Dari penelusuran ini, penulis menemukan beberapa pola adaptasi tarekat terhadap kebijakan dan kecenderungan masyarakat Islam dalam hukum Islam. MPTT Amran Wali cenderung melakukan pemaknaan ulang atas doktrin-doktrin tasawuf klasik yang dianggap bertentangan dengan syariat. TQN Sulfanwandi mengambil pelayanan spiritualitas dengan tetap mempertahankan pola hidup masyarakat urban. Sementara Haqqaniyah Ustaz Zamhuri melakukan pola adaptasi seni budaya untuk menunjukkan tarekatnya sebagai bagian dari pola hidup ulama sufi Aceh klasik. Ketiga kelompok tarekat ini sepertinya lebih menekankan pada aspek spiritualitas agama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan masyarakat modern. Atau dengan kata lain, tetap salih secara agama meskipun modern secara kehidupan duniawi.
<p class="ABSTRAKISI"><strong>Abstract</strong>: This study is an ethnographic note about the <em>Mawlid</em> celebrations in Aceh. In contrast to most studies by previous scholars who saw <em>Mawlid</em> as a medium for normative theological discourse, this article aims to narrate the <em>Mawlid</em> phenomenon by focusing on how the Acehnese celebrated <em>Mawlid</em>, how the religious expression was, and how <em>Mawlid</em> became a political medium. This study showed that the <em>Mawlid</em> celebration in Aceh is not just a tradition or an expression of love for the Prophet but a cultural construction inherent to the Acehnese society, religious expression, and political media. <em>Mawlid</em> as a cultural construction is manifested in various forms of unique food dishes, as a religious expression manifested in typical Dhikr and Lectures <em>Mawlid</em>, and as a political medium seen from the invitations of <em>Mawlid</em>, <em>Mawlid</em> <em>Pemda</em>, and <em>Mawlid</em> at home.</p><p class="UMUMKOSONG"> </p><p class="ABSTRAKISI"><strong>Abstrak:</strong> Kajian ini merupakan catatan etnografis tentang perayaan Maulid di Aceh. Berbeda dengan kebanyakan kajian sebelumnya yang melihat Maulid sebagai media wacana teologis normatif, artikel ini bertujuan untuk menceritakan fenomena Maulid dengan berfokus pada bagaimana masyarakat Aceh merayakan Maulid, bagaimana ekspresi keagamaannya, dan bagaimana Maulid menjadi media politik. Kajian ini menunjukkan bahwa perayaan Maulid di Aceh bukan sekedar tradisi atau ungkapan cinta kepada Nabi, melainkan sebuah konstruksi budaya dan ekspresi keagamaan yang telah melekat pada masyarakat Aceh, serta media politik. Mawlid sebagai konstruksi budaya termanifestasi dalam beragam bentuk hidangan makanan yang unik, kemudian sebagai ekspresi keagamaan termanifestasi dalam bentuk Dzikir dan Ceramah Maulid yang khas, dan sebagai media politik terlihat dari ajakan Maulid, Maulid Pemda, dan Maulid di rumah. </p><p class="ABSTRAKISI"><strong>Keywords:</strong> <em>Acehnese; Mawlid Celebration; Culture; Social Identity; Religious Expression; Political Medium.</em></p>
Hadirnya teknologi telah memberikan dampak negatif bagi sebagian orang yang tidak dapat memanfaatkannya dengan baik. Selain itu zaman modern yang dianggap sebagai zaman yang menyebabkan seseorang untuk terjebak pada pola hidup materialistik-hendonistik yang mendorong dirinya lebih banyak menghabiskan hidupnya untuk mencari kepuasan yang bersifat materi dan sering kali bersifat tak acuh kepada Tuhannya. Penerapan syariat Islam di Aceh selalu terkait dengan hukum Islam. Hal ini telah menafikan aspek spritualitas dalam tarekat yang merupakan akar Islam di Aceh, apalagi kelompok-kelompok tarekat seperti tidak menampakkan diri kepermukaan. Namun yang menjad ipertanyaan apakah kelompok tarekat benar-benar hilang karena diberlakukan syari'at Islam. Tulisan ini mencoba menelusuri bagaimana pola adaptasi dan perubahan gerakan tarekat di Aceh pasca modern, dimana penulis mengambil contoh pada Majelis Pengkajian Tauhid Tasawuf (MPTT) Syekh Haji Amran Wali sebagai representasi tarekatNaqsyabandi al-Khalidi (Aceh Selatan dan Banda Aceh). Dari penelusuran ini, penulis menemukan beberapa pola adaptasi tarekat terhadap kebijakan dan kecenderungan masyarakat Islam dalam hukum Islam. MPTT Amran Wali cenderung melakukan pemaknaan ulang atas doktrin-doktrin tasawuf klasik yang dianggap bertentangan dengan syariat namun berbeda dengan lainnya.
Sebuah organisasi sosial-keagamaan secara alamiah memiliki naluri untuk bertahan dalam perubahan sosial yang ada di sekitarnya, termasuk gerakan tarekat. Perubahan ini dilakukan untuk mengumpulkan lebih banyak jamaah dan mempertahankan eksistensi gerakan di tengah lingkungannya. Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Aceh merupakan tarekat yang masih baru dibandingkan tarekat lain yang sudah ada di sana sebelumnya. Perubahan politik yang dinamis di Aceh juga mempengaruhi perubahan dalam bidang keagamaan. Artikel ini akan mencoba menjelaskan proses perubahan yang terjadi dalam gerakan tarekat Naqsyabandiyah di Aceh, bentuk perubahannya, dan relasi perubahan tersebut dengan kekuasaan. Dari pengamatan dan wawancara yang penulis lakukan dengan kelompok pelaku tarekat tampak bahwa perubahan dalam tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang ada di Aceh terkait erat dengan peran yang dimainkan oleh aktor-aktor tarekat sebagai agensinya. Perubahan itu juga berbeda antara apa yang dilakukan oleh satu tokoh dengan tokoh lainnya. Penulis berpendapat bahwa perubahan dalam tarekat di Aceh mengarah kepada upaya membangun eksistensi diri di tengah perubahan sosial politik yang ada di sana. Para aktor menyesuaikan praktik tarekat untuk masyarakat urban sehingga mendapat lebih banyak pengikut bahkan terkadang dengan menyamarkan nama tarekat di belakangnya.A socio-religious organization naturally has the instinct to survive in the social changes that surround it, including the tarekat movement. This change was made to gather more worshipers and maintain the existence of the movement in its environment. The Naqsyabandiyah Khalidiyah sufi order in Aceh is a relatively new compared to other tarekat that have existed there before. This article will try to explain the process of change that occurred in the Naqsybanadiyah tarekat movement in Aceh, the form of change, and the relationship between these changes and power. From the observations and several interviews that the author conducted with groups of tarekat actors, it appears that changes in the Naqsyabandiyah Khalidiyah tarekat in Aceh are closely related to the role played by actors as their agencies. The changes also differ between what one character does to another. The author argues that changes in tarekat in Aceh lead to efforts to build self-existence in the socio-political changes that are there. Actors adapt tarekat practices to urban communities so as to gain more followers, sometimes even by disguising the tarekat name behind them
<p><strong>Abstract:</strong> This article is aimed to explore the contested authorities in the enforcement of sharia law in Aceh. The existence of these contesting authorities could be observed in the qanun shari’a (the shari’a bylaws) formulation and implementation processes. In Aceh Province, this contestation is also further complicated by a wider contestation among formal and non-formal actors, representing pluralities of Aceh jurisprudence perspectives. Hence, the dynamic of sharia law products and its implementation in Aceh actually [re]presents a unique situation of how pluralities of actors could influence the Sharia Law formulation and its enforcement, and this is also mediated by the historical, political and cultural contexts. This research utilizes a qualitative approach, through a library research data collection which is also combined by few interviews. Generally, it seems that the authorities or agencies of both formal and non-formal institutions sometimes intersect, overlap and contest, which also complicate the production or of the incorporation of moderate Islamic thought. </p><p><strong>Keywords:</strong> religious authority, institution, agency, Islam in Aceh, shariah law</p>
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.