Kekerasan terhadap anak merupakan hal yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Keprihatinan terhadap fenomena sosial yang terjadi dewasa ini, mendorong penulis untuk mengeksplorasi lebih dalam kasus-kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia, khususnya di D.I. Yogyakarta. Pokok masalah dari studi ini adalah ingin menemukan bagaimana skema kecenderungan kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak di D.I. Yogyakarta pada periode tahun 2012-2014, faktor-faktor pemicu terjadinya kekerasan terhadap anak pada skema yang ditemukan, dan dampak kekerasan terhadap anak pada skema yang ditemukan. Studi ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif. Adapun metode pengumpulan datanya adalah melalui wawancara dan dokumentasi. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis induktif. Studi ini bersumber pada dokumen-dokumen dan kasus-kasus yang ditangani oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Daerah Istimewa Yogyakarta, serta informasi dari staf LPA DIY.Hasil studi ini menemukan bahwa kasus yang selalu ada di setiap rentang tahun antara 2012 sampai dengan 2014 adalah kasus kekerasan seksual. Kasus ini menempati posisi tiga besar di setiap tahunnya dan jumlahnya selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Faktor pemicu terjadinya kekerasan seksual pada klien LPA DIY pada umumnya adalah budaya patriarkhi, tidak ada pemahaman terhadap Undang-undang perlindungan anak dan hak anak, posisi tawar anak rendah dalam keluarga, anak tidak mengetahui tentang kekerasan seksual, dan pengaruh kemajuan informasi dan teknologi. Adapun dampak secara umum pada korban dapat dilihat: anak mudah curiga atau takut bila bertemu dengan orang asing yang belum dikenalnya, anak menjadi tertutup, berbicara sangat pelan, apatis, anak mengalami gangguan fisik dengan gejala keputihan atau keluar cairan berbau, anak menjadi pemalu atau minder, anak mudah marah, dan anak mengalami stockholm syndrom (menunjukkan kekacauan emosi dengan menjadi suka terhadap pelaku kekerasan).Kata Kunci: Skema, Kekerasan Anak, D.I. Yogyakarta
Artikel ini membahas tentang kebebasan beragama bagi kelompok minoritas Muslim berdasarkan gender di Indonesia. Kelompok minoritas sering mengalami permasalahan untuk dapat mengakses hak-haknya sebagai warga negara. Transgender merupakan salah satu kelompok minoritas berdasarkan gender yang sering mengalami permasalahan tersebut. Hak beragama merupakan salah satu hak sipil yang dimiliki oleh setiap warga negara. Namun, keberadaan transgender belum sepenuhnya diterima oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat Muslim, maka mereka terhambat untuk dapat mengekspresikan keyakinan agama mereka. Faktanya, transgender itu ada dalam kehidupan sosial. Fenomena tersebut juga sudah ada ketika zaman pra-Islam ataupun zaman Nabi Muhammad SAW. Ayat-ayat Al Qur’an yang dijadikan inspirasi untuk mendefinisikan transgender adalah QS. Al Hajj: 5 dan QS. An-Nur: 31. Sedangkan dalam hadith juga ada penjelasan tentang transgender, pada kisah transgender dan istri-istri Nabi. Sehingga Fiqh, sebagai landasan hukum dalam Islam juga memberikan penjelasan tentang peribadatan yang terkait dengan transgender. Term yang disebutkan dalam Fiqh untuk istilah transgender adalah khuntha dan mukhannath. Akan tetapi dalam sebagian besar penjelasan mengenai transgender dari para Ulama Muslim, sering melupakan kondisi psikis yang dialami oleh transgender. Seseorang tidak bisa dengan mudah memahami kondisi yang dialami oleh transgender. Untuk memahami transgender, seseorang tidak cukup hanya melihat dari aspek fisik saja, tetapi perlu menelaah aspek psikologis dan biologis dari transgender tersebut.[This article explains the religious freedom for Muslim minority group based on the gender in Indonesia. The minority groups usually face some obstacle to access their rights as a citizen. Transgender as one of a minority group based on the gender and they usually face that problem. The religious rights include to the civil rights and all of the citizen should have it. However, the existence of transgender in the social community cannot be accepted yet by the Indonesia society, especially Muslim society. So, it causes the difficulties for them to express their belief. In fact, transgender exists in social life. This phenomenon has been existing since the pre-Islamic era or the era of the Prophet Muhammad. There several verses of Qur’an explain about transgender, such as QS. Al-Hajj: 5 and QS. An-Nur: 31. Moreover, the explanation about transgender also exists in hadith, in the story of transgender and Prophet’s wives. Therefore, Fiqh as a fundamental of Islamic law also explains how transgender does their pray. In Fiqh of Islam, transgender is called as khuntha and mukhannath. But in most of the explanations about transgender from Muslim scholars, they often forget about the psychological conditions of transgender. People cannot easily understand the condition of transgender. Therefore, to understand their condition, it is not enough by seeing them only from the physical aspect, but we need to understand their psychological and biological conditions.]
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.