Demam tifoid pada anak besar (lebih dari usia sepuluh tahun) pada umumnya mempunyai gambaran klinisdemam tifoid menyerupai dewasa. Demikian juga derajat berat penyakit akan lebih parah dibandingkanpasien anak yang lebih muda. Oleh karena itu, pengamatan keadaan klinis pasien selama mendapatpengobatan harus dievaluasi dengan cermat terutama mengenai parameter keberhasilan pengobatan sepertikeadaan umum, suhu, gejala intestinal, komplikasi baik intra maupun ekstra intestinal, hitung leukosit, fungsihati, dan asupan cairan serta nutrisi. Pemeriksaan biakan darah terhadap Salmonella typhi merupakan bakuemas untuk diagnosis demam tifoid. Walaupun pada saat ini telah terdapat berbagai uji diagnostik cepat(rapid diagnostic test) yang dapat dipergunakan untuk pasien rawat jalan, untuk pasien rawat inap harusdilakukan pemeriksaan biakan Salmonella typhi. Selain untuk menegakkan diagnosis, adanya biakan positifsangat berguna untuk menilai apakah pengobatan empiris yang diberikan saat pertama kali pasien datang kerumah sakit sudah tepat. Perlu diperhatikan bahwa uji resistensi bakteri harus disertakan pada hasil biakan.Hasil uji resistensi diperlukan dalam menilai antibiotik pilihan alternatif apabila pengobatan empiris tidakseperti yang kita harapkan. Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan pengobatan lini pertama untukdemam tifoid pada anak yang dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.Namun saat ini banyak dilaporkan adanya keadaan multidrug resistance Salmonella typhi (MDSRT), sepertidilaporkan di Pakistan, Mesir, dan Thailand. Maka untuk kasus MDRST diberikan pilihan pengobatanlini kedua yaitu seftriakson atau kuinolon. Namun karena penggunaan kuinolon masih kontroversi untukanak mengingat dapat menyebabkan artropati, maka seftriakson menjadi pilihan kedua untuk demam tifoidpada anak.
P revalens penyakit alergi semakin meningkat. Manifestasi pertama dan tersering dari atopic march adalah DA, yang bila tidak diatasi secara tepat akan berlanjut menjadi rinitis alergika atau asma sebesar 80%.1 Dermatitis atopik umumnya berhubungan dengan reaksi alergi yang diperantarai immunoglobulin E (IgE) terutama alergi makanan, namun masih banyak perdebatan mengenai hal ini.2 Prevalens alergi makanan pada pasien DA berkisar antara 33%-63%. Hasil. Sensitisasi terjadi pada 29 subjek dari 35 subjek, dengan faktor risiko pajanan asap rokok ditemukan pada 21 subjek, faktor risiko alergi sedang dan tinggi 19 subjek, tidak mendapat ASI eksklusif 9 subjek, dan makanan padat usia dini 21 subjek. Sensitisasi alergen makanan ditemukan pada 26 subjek. Kesimpulan. Sebagian besar subjek DA mengalami sensitisasi oleh alergen makanan. Faktor risiko pajanan asap rokok, faktor risiko alergi sedang dan tinggi, tidak mendapat ASI eksklusif, dan mendapat makanan padat usia dini ditemukan lebih sering pada anak DA. Sari Pediatri 2011;13(2):147-51.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.