<p><strong>Latar belakang:</strong> Kejadian anemia yang paling banyak terjadi pada remaja putri yaitu anemia defisiensi besi, anemia disebabkan karena kebutuhan zat besi meningkat tinggi pada masa pertumbuhan dan remaja putri juga mengalami haid setiap bulannya. Hal ini diperkuat dengan kejadian anemia pada remaja putri menurut Riskesdas tahun 2016 yaitu sebesar 22,7%. Masalah anemia pada remaja putri akan mengakibatkan perkembangan motorik, mental dan kecerdasan terhambat, menurunnya prestasi belajar dan tingkat kebugaran, tidak tercapainya tinggi badan maksimal, kontribusi yang negatif pada masa kehamilan kelak, yang menyebabkan kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), kesakitan dan kematian pada ibu dan anak</p><p><strong>Tujuan penelitian:</strong> Menganalisis hubungan tingkat pengetahuan remaja putri tentang konsumsi zat besi dengan kejadian anemia di SMP 18 Surakarta.</p><p><strong>Metode </strong><strong>penelitian:</strong> Desain penelitian adalah <em>cross sectional</em> untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan remaja putri tentang konsumsi zat besi dengan kejadian anemia. Penelitian dilakukan di SMP 18 Surakarta. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja putri di SMP 18 Surakarta. Teknik pencuplikan sampel menggunakan <em>simple random sampling</em>. Alat ukur dalam penelitian ini adalah kuesioner dan lembar observasi. Analisis data dilakukan dengan uji statistik <em>chi square.</em></p><p><strong>Hasil penelitian:</strong> Dalam penelitian ini mayoritas responden yang diteliti memiliki pengetahuan tinggi terhadap konsumsi zat besi (66.67%) dan lebih dari seperempat total responden mengalami anemia (26.67%). Selanjutnya, terdapat hubungan pengetahuan konsumsi zat besi terhadap kejadian anemia dengan nilai p<0.04. Responden yang memiliki pengetahuan rendah tentang konsumsi zat besi memiliki risiko anemia lebih besar 13.5 kali.</p><p><strong>Kesimpulan:</strong> Mayoritas responden yang diteliti memiliki pengetahuan tinggi terhadap konsumsi zat besi dan lebih dari seperempat total responden mengalami anemia. Selanjutnya, terdapat hubungan pengetahuan konsumsi zat besi terhadap kejadian anemia.</p>
Latar Belakang: Pelayanan bidan yang profesional harus dipersiapkan sejak perkuliahan. agar menjadi bidan professional, maka mahasiswa kebidanan harus belajar dengan tekun, baik secara mandiri maupun dengan teman sebaya. Salah satu metode belajar yang dapat diterapkan adalah metode peer teaching (tutor sebaya), merupakan latihan mengajar yang dilakukan oleh siswa kepada kepada siswa lainnya dan mendorong siswa tersebut lebih memahami materi yang akan diajarkan. Metode pembelajaran praktikum secara peer teaching efektif diterapkan pada kegiatan praktikum khususnya pada praktik vulva hygiene sebagai salah satu kompetensi dasar bidan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh metode pembelajaran praktikum peer teaching terhadap praktik vulva hygiene pada mahasiswa DIII kebidanan FK UNS. Metode Penelitian: Pre-experimental dengan rancangan pretest-posttest one group design. Teknik sampling menggunakan purposive sampling yaitu 36 mahasiswa. Instrumen penelitian menggunakan checklist penilaian praktik vulva hygiene. Penelitian ini menggunakan uji statistik paired t-test. Hasil Penelitian: Hasil praktik vulva hygiene sebelum diberikan metode pembelajaran praktikum peer teaching didapatkan rerata 66,36 dan setelah diberikan metode pembelajaran praktikum peer teaching didapatkan rerata 82,39. Dari hasil penelitian didapatkan nilai t sebesar 31.909 dan p sebesar 0.000. Simpulan: Ada pengaruh metode pembelajaran praktikum peer teaching terhadap praktik vulva hygiene pada mahasiswa DIII Kebidanan Fakultas Kedokteran UNS.
<p class="Abstract">ABSTRAK</p><p class="AbstractNormal"><strong>Pendahuluan: </strong>Kolaborasi tenaga medis merupakan hal yang penting dalam mengupayakan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. WHO menyampaikan bahwa kolaborasi akan memperkuat sistem kesehatan. Studi tentang kolaborasi tenaga medis di Indonesia terutama tentang tenaga medis Puskesmas masih sangat terbatas.</p><p class="AbstractNormal"><strong>Metode:</strong><strong> </strong>Studi ini merupakan bagian dari pengabdian masyarakat, dengan pendekatan cross sectional<strong>. </strong>Lokasi yang digunakan adalah Puskesmas Banyuanyar dan Puskesmas Kratonan, mewakili Puskesmas di kawasan pedesaan dan perkotaan.<strong> </strong>Tenaga kesehatan yang mengikuti kegiatan ini sebanyak 37 orang. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner persepsi tentang identitas profesi, dan kuesioner sikap tentang <em>interprofessional collaboration</em>. Data yang didapatkan dianalisis statistik dengan uji regresi linier ganda.</p><p class="AbstractNormal"><strong>Hasil:</strong><strong> </strong>Setiap peningkatan satu skor persepsi tentang identitas profesi akan meningkatkan sikap interprofessional collaboration sebesar 1,07; dan signifikan secara statistik (p = 0,001), setiap peningkatan satu tahun lama kerja akan menurunkan sikap interprofessional collaboration, namun tidak signifikan secara statistik (p=0,31). Persepsi tentang identitas profesi dan lama kerja bersama-sama mempengaruhi sikap interprofessional collaboration sebesar 31 %, sisanya sebesar 69 % dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti, model regresi ganda fit dengan p=0,001.</p><p class="AbstractNormal"><strong>Kesimpulan: </strong>Persepsi tenaga kesehatan tentang identitas profesi mempengaruhi sikap tentang identitas profesi. Perlu memperkuat persepsi tenaga kesehatan tentang identitas profesi.</p><p class="Keywords">Kata Kunci: kolaborasi; puskesmas; tenaga medis; identitas profesi</p><p class="Keywords"> </p><p class="Keywords"><em>ABSTRACT</em></p><p class="KeywordsCxSpMiddle"><em>Introduction:</em><em> Collaboration of </em><em>health care workers</em><em> is important in </em><em>order</em><em> to improve the quality of health services. WHO</em><em> </em><em>states that collaboration will strengthen the health system. Studies on collaboration of </em><em>health care workers</em><em> in Indonesia, especially on </em><em>public health center workers</em><em>, are still very limited.</em></p><p class="KeywordsCxSpMiddle"><em>Methods:</em><em> This study was part of community service, with a cross sectional study approach. The locations used are Puskesmas Banyuanyar and </em><em>Puskesmas</em><em> Kratonan, representing </em><em>public health center </em><em>in rural and urban areas. There were 37 health workers who participated in this activity. The instrument used was a perception of professional identity, and attitudes about interprofessional collaboration. The data obtained were statistically analyzed using the multiple linear regression.</em></p><p class="KeywordsCxSpMiddle"><em>Results:</em><em> Every increase of one perception score about professional identity would increase interprofessional collaboration attitude by 1.07, statistically significant (p ≤ 0.001), every increase of one year of work would decrease interprofessional collaboration attitude, but not statistically significant (p = - 0.31). Perceptions of professional identity and length of work together affect interprofessional collaboration attitude by 31%, the remaining 69% is influenced by other factors not examined, the multiple fit regression model with p = 0.001.</em></p><p class="KeywordsCxSpMiddle"><em>Conclusion:</em><em> Health workers' perceptions about professional identity influence attitudes about professional identity. </em><em>There is a n</em><em>eed to strengthen the perception of health workers about professional identity.</em></p><p class="KeywordsCxSpMiddle"><em> </em></p><p class="Keywords"><em>Keywords: collaboration; public health center;</em><em> health care workers; professional identity</em></p>
Background: Teamwork in health care is beneficial because it allows a holistic approach to patient care. Interprofessional education (IPE) provides students with an opportunity to develop their professional roles and their functions as team members. Understanding Interprofessional Collaboration (IPC) from the perspective of student and academic staff is an essential assessment for creating IPE model.Methods: This was a qualitative study with phenomenology approach. We explored students’and academic staff’s perspective of IPE by focus group discussions. We selected fifteen midwifery student, twenty medical students and twenty-two lecturers (midwifery and obstetrician gynecologist doctor) who were involved in IPE project. Data analysis used thematic analysis technique.Results: Findings showed four themes that presented the most common perspective in collaborative experience, (1) interprofessional communication, (2) the role each profession, (3) IPE learning model, and (4) suggested IPE model. The major obstacle was poor communication in daily practices. Developing an IPE model is important to improve patient care.Conclusion: The main common problem of IPC was interprofessional communication. That poor communication problem can be solved by developing intra-curricular and extra-curricular IPE model and train the effective interprofessional communication.
Penelitian ini memprediksikan kompetensi motorik (kasar dan halus) terhadap aspek kognitif, afektif dan kesehatan untuk anak usia dini. Pengukuran kompetensi motorik, kognitif dan kesehatan menggunakan tes dan pengukuran afektif menggunakan skala. Partisipan yang dilibatkan adalah anak-anak yang berusia tiga sampai enam tahun (N=30) dinyatakan sehat secara fisik dan mental dan mendapat persetujuan dari orang tua/keluarga diambil dari taman kanak-kanak di Solo dan Yogyakarta. Data yang sudah terkumpul dianalisis menggunakan regresi untuk mengetahui sebab akibat dari masing-masing variabel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kompetensi motorik yang baik berdampak pada aspek kognitif, afektif dan kesehatan anak usia dini. Anak-anak dengan kognitif yang baik ditandai dengan keterampilan pemecahan masalah dengan mengedepankan prososial dalam setiap interaksi. Anak-anak dengan afektif yang tinggi ditandai dengan rasa simpati kepada kawan yang lain dalam bentuk kepedulian. Anak-anak dengan kesehatan yang baik ditandai dengan berkurangnya rasa mengeluh dan aktivitas fisik normal.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.