Purpose – The purpose of this paper is to address this gap in the literature by examining a cohort of Indonesians employed within a financial organisation and the cross‐cultural transition stresses that they and their families encountered when relocated within Indonesia. Design/methodology/approach – The research involved semi‐structured interviews conducted with managers in a financial institution in Indonesia. In specifically referring to non‐work issues, the paper explores the support given by the transferees’ organisation, the difficulties experienced by the employees and their families. Findings – The major finding was that managers believe that the organisation provides them with insufficient support to deal with the cross‐cultural transition stresses that result from their domestic relocations. Practical implications – The paper provides suggestions for HR and senior managers to more effectively address non‐work needs of domestic transferees. Originality/value – While expatriate management literature has devoted considerable attention to cross‐cultural transition stresses encountered when transiting across international borders to undertake international assignments, a smaller body of literature has examined the transition stresses experienced by domestic employees and their families when relocating jobs within nations. An issue erstwhile given much less consideration within the literature, however, is the cross‐cultural transition stresses experienced by employees and their families who are relocated within nations that have substantive regional cultural differences. Thus, this research adds value to the existing literature in undertaking an assessment of cross‐cultural transition stresses in domestic relocation.

No abstract

Program Pengabdian Masyarakat berupa Pelatihan Aplikasi Pembelajaran Berbasis Video bertujuan untuk memfasilitasi para guru menguasai aplikasi pembelajaran gratis berbasis Video Flipgrid. Kegiatan ini melibatkan guru SD IT Al Mawadah Semarang dimana para guru di sekolah tersebut sudah memulai penggunaan pembelajaran berbasis video tetapi dalam pengelolaannya masih melalui WA Group. Permasalahan yang dihadapi oleh para guru ketika menggunakan metode di atas diantaranya adalah pengelolaan file tugas video siswa yang kurang praktis. Hal ini dikarenakan aplikasi WAG tidak secara khusus didesain untuk mendukung pengelolaan pembelajaran berbasis kelas. Metode yang dilakukan dalam pelatihan ini meliputi penyampaian materi tentang fungsi dan fitur Flipgrid serta contoh pemanfaatannya dalam pembelajaran. Tahap selanjutnya adalah praktek pembuatan kelas Flipgrid dimana setiap peserta diminta untuk membuat kelas Flipgrid untuk kelas yang diampu. Pelatihan diikuti sejumlah 20 guru SD IT Al Mawaddah dan semua peserta telah terampil membuat kelas Flipgrid untuk masing-masing kelas yang diampu. Para peserta merasakan kelebihan pembelajaran berbasis video dengan memanfaatkan kelas Flipgrid dibandingkan praktek pembelajaran yang selama ini dilakukan. seperti: kemudahan pengelolaan file penugasan video, baik dalam proses pengumpulan maupun penilaian tugas dan lebih menghemat memori Laptop maupun HP. Para peserta memahami pemanfaatan platform Flipgrid dapat meningkatkan keterampilan siswa terutama dalam hal komunikasi/public speaking dan creative thinking.

No abstract

No abstract