ABSTRAKLatar Belakang. Tindakan intubasi endotrakeal dapat menstimulasi respons batuk, spasme laring, serta meningkatkan hemodinamik. Obat pelumpuh otot memudahkan intubasi namun tidak menekan respons hemodinamik. Blok superior laringeus dan transtrakeal diduga menghasilkan kualitas intubasi setara obat pelumpuh otot dan mampu menekan peningkatan hemodinamik. Tujuan. Membandingkan kualitas intubasi dan respons hemodinamik yang dihasilkan oleh blok nervus superior laringeus dan transtrakeal dengan obat pelumpuh otot. Metode. Kualitas intubasi diukur menurut Helbo-Hansen Raulo dan Trap Anderson. Tekanan darah, denyut nadi, dan saturasi diukur sebelum intubasi dan setelah intubasi. Hasil. Grup pelumpuh otot (100%) dan satu pasien (5,9%) buruk pada grup blok. Hemodinamik setelah intubasi kedua grup berbeda signifikan (p=<0,05) dengan sistolik (148,35±26,33 vs 109,53±15,98); diastolik (94,88±20,18 vs 68,00±15,54); MAP (109,65±21,18 vs 79,94±16,94); nadi (101,71±16,34 vs 87,47±20,03); kecuali saturasi (99,35±0,79 vs 99,35±0,99) tidak berbeda. Simpulan. Pelumpuh otot dan blok menghasilkan kualitas intubasi yang serupa, namun respons hemodinamik lebih baik pada blok dibanding pelumpuh otot. Kata kunci: Intubasi, blok, superior laringeus, transtrakeal ABSTRACT Background. Endotracheal intubation stimulates various responses such as coughing and bucking, bronchial and laryngeal spasm and hemodynamic changes. Muscle relaxants facilitate easy intubation, but not suppressing hemodynamic response. Superior laryngeus and transtracheal block is presume to suppress hemodynamic changes while maintain intubation quality. Objective. To compare intubation quality and hemodynamic response from superior laryngeus and transtracheal block and muscle relaxants. Methods. Intubation quality is assessed using Helbo-Hansen Raulo and Trap Anderson. Blood Pressure, pulse and saturation were measured before and after intubation. Results. All intubation is acceptable in muscle relaxants group (100%), one unacceptable in block group (5.9%). After intubation hemodynamic in both groups were significantly different (p=<0.05) for systolics (148.35±26.33 vs 109.53±15.98), diastolics (94.88±20.18 vs 68.00±15.54), MAP (109.65±21.18 vs 79.94±16.94), and for pulse (101.71±16.34 vs 87.47±20.03), except for saturation (99.35±0.79 vs 99.35±0.99). Conclusion. Muscle relaxant and block deliver similar intubation quality, however block giving out better hemodynamic response stability.
Post operative nausea vomiting (PONV) merupakan salah satu komplikasi tersering pascaoperatif terutama pada operasi risiko tinggi seperti operasi telinga tengah. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan efektivitas gabapentin, deksametason, dan gabapentin+deksametason dalam mencegah PONV. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pendekatan double blind randomized control trial pada 30 pasien ASA I dan II yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan menjalani operasi telinga tengah dengan anestesi umum di Instalasi Bedah Sentral RSUD dr Moewardi Surakarta pada Maret–Mei 2019. Kelompok sampel terbagi dalam 3 kelompok, yaitu kelompok deksametason, kelompok gabapentin, dan kelompok gabapentin+deksametason. Pencatatan meliputi skala PONV (0–3) yang dinilai pada jam ke-1, 12, dan 24 pascaoperasi. Analisis statistik yang digunakan untuk uji perbedaan PONV adalah Uji Kruskal. Skala PONV pada jam ke-1, 12, dan 24 antara ketiga kelompok tidak didapatkan perbedaan signifikan (p>0,05). Simpulan, gabapentin, deksametason, dan gabapentin+deksametason tidak memiliki perbedaan efektivitas terhadap angka kejadian PONV pascaoperasi telinga tengah, akan tetapi kombinasi kedua obat tersebut memberikan hasil yang lebih baik.
Nyeri akut pascaoperasi didefinisikan sebagai rasa nyeri yang muncul setelah prosedur pembedahan. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan efek kombinasi ketoprofen supositoria+parasetamol oral dengan meperidin intravena sebagai analgetik pascaoperasi laparaskopi. Penelitian ini menggunakan uji klinik acak tersamar tunggal pada 36 pasien yang dilakukan operasi laparaskopi dan memenuhi kriteria inklusi. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta sejak Februari hingga Juli 2019. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kombinasi ketoprofen supositoria+parasetamol oral (K) dan meperidin intravena (P). Semua pasien mendapatkan perlakuan anestesi umum sesuai dengan standar dan kemudian dilakukan penilaian skala nyeri berkala pascaoperasi. Skala nyeri pascaoperasi mulai jam ke-2 sampai ke-24 pada kelompok K (nyeri ringan 80-90%) dan P (nyeri ringan 100%). Data yang didapatkan diuji menggunakan Uji Mann-Whitney. Perbandingan skala nyeri kelompok K dengan P menunjukkan perbedaan yang signifikan pada jam ke-6. Skor PONV pada kelompok K (mual ringan 50%, mual sedang 5%) dan P (muntah 16% dan mual berat 40-45%). Simpulan, terdapat perbedaan skala nyeri antara kombinasi ketoprofen supositoria-parasetamol oral (K) dan meperidin intravena (P) pascaoperasi laparaskopi terutama jam ke-6 pascaoperasi. Meperidine intravena dapat digunakan sebagai analgetik yang efektif untuk nyeri pascaoperasi laparaskopi dengan efek samping PONV lebih besar.
Penambahan adjuvan pada levobupivakain dapat memperkuat dan memperpanjang efek analgesia pada blok saraf tepi. Klonidin memiliki aksi yang sinergis dengan agen lokal anestesi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas penambahan klonidin 1 mcg/kgBB dan 2 mcg/kgBB pada scalp block sebagai analgetik kraniotomi. Penelitian dilakukan pada 30 pasien yang menjalani kraniotomi di RS Dr. Moewardi Surakarta selama periode bulan Mei–Agustus 2020 Desain penelitian yang digunakan adalah uji klinis tersamar acak ganda dengan analisis statistik menggunakan uji one-way ANOVA atau Kruskal Wallis. Subjek dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok I: scalp block dengan levobupivakain 0,25%, kelompok II: scalp block ditambah klonidin 1 mcg/kgBB, kelompok III: scalp block ditambah klonidin 2 mcg/kgBB. Penilaian terhadap tekanan darah, MAP, laju nadi dilakukan sebelum intubasi, pemasangan pin, insisi kulit, dan insisi duramater. Hasil penlitian didapatkan perbedaan signifikan penambahan klonidin pada levobupivakain 0,25% dengan kelompok kontrol terutama pada laju nadi dan diastole. Klonidin 2 mcg/kgBB pada beberapa waktu menunjukkan perbedaan signifikan dibanding dengan penambahan dosis klonidin 1 mcg/kgBB. Simpulan, penambahan klonidin pada scalp block levobupivakain efektif menurunkan respons hemodinamik terutama laju nadi dan tekanan darah diastole
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.