Tulisan ini merupakan penelitian untuk mendialogkan filsafat politik menurut Armada Riyanto dengan filsafat Pancasila menurut Driyarkaya. Fokus penelitian ini adalah melihat politik cinta kasih dalam Pancasila. Politik adalah tata kelola hidup bersama dan asal usul suatu negara merupakan sebuah pencarian jati diri manusia. Pemahaman ini menjadi dasar pembentukan negara Indonesia. Perumusan Pancasila adalah pencarian jati manusia Pancasila. Manusia Pancasila adalah ada-bersama-dengan-cinta. Semua sila mencerminkan hakikat ini. Metodologi penelitian ini adalah studi komparasi antara dua pemikiran filsafat politik. Filsafat politik Armada Riyanto dilengkapi dengan refleksi Driyarkaya. Hasil temuan penelitian ini adalah politik Pancasila adalah politik cinta kasih. Kasih mempersatukan semua manusia Indonesia. Manusia Indonesia tetap membutuhkan sebuah sistem yang mampu melengkapi ada-bersama-dengan-cinta yaitu demokrasi. Politik cinta kasih semakin mempertegas bahwa hakikat manusia Pancasila adalah ada-bersama-dengan-cinta. Masyarakat menyerahkan kekuasaannya kepada pemimpin dan pemimpin menjamin kesejahteraan sosial. Semua ini bisa terjadi dan terlaksana dengan baik jika manusia Indonesia sungguh menyadari bahwa mereka adalah ada-bersama-dengan-cinta.
This research departs from the phenomenon of live streaming mass due to the Covid-19 pandemic. Face-to-face mass activities were eliminated and replaced by using live streaming media. The focus of this research is to see how the value of the communion of people in the Eucharist can be maintained in cyberspace. Researchers used qualitative research methods with a theological reflection approach based on the thoughts of Antonio Spadaro and Anthony Le Duc about cyber theology. The novelty of this research is a theological reflection from the perspective of the teachings of the Catholic Church. The results showed that the people were helped to maintain the value of the Eucharistic communion in the midst of a pandemic. Cyberspace is a forum to strengthen relationships between believers emotionally and spiritually. However, it must be emphasized that cyberspace is only a supplement. This space is needed according to the portion and remains actualized in a real and direct relationship. Research data shows that people feel that they are not enough with live streaming mass. The church needs to help people to reflect more deeply on the relationship between God and humans in cyberspace. Therefore the Church has a tough task after the pandemic ends. AbstrakPenelitian ini berangkat dari fenomen misa live streaming akibat pandemik Covid-19. Kegiatan misa secara tatap muka ditiadakan dan diganti dengan memanfaatkan media live streaming. Fokus penelitian ini melihat bagaimana nilai persekutuan umat di dalam Ekaristi bisa dipertahankan dalam cyberspace. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan refleksi teologis berdasarkan pemikiran Antonio Spadaro dan Anthony Le Duc tentang cybertheology. Kebaruan penelitian ini adalah refleksi teologis dengan sudut pandang ajaran Gereja Katolik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umat dibantu untuk mempertahankan nilai persekutuan Ekaristi di tengah pandemi. Cyberspace menjadi wadah untuk menguatkan relasi antarumat secara emosional dan spiritual. Namun yang harus ditekankan adalah cyberspace hanya suplemen. Ruang ini dibutuhkan sesuai porsinya dan tetap diaktualisasikan dalam relasi nyata dan langsung. Data penelitian menunjukkan umat merasa tidak cukup dengan misa live streaming. Gereja perlu membantu umat untuk merefleksikan lebih mendalam lagi relasi Tuhan dan manusia di dalam cyberspace. Oleh sebab itu Gereja mempunyai tugas berat setelah pandemi berakhir.
Artikel ini merupakan penelitian untuk merefleksikan fenomena misa live streaming yang terjadi di masa pandemi Covid-19. Fenomena ini bisa menjadi bahan untuk merefleksikan eklesiologi digital yaitu bagaimana model Tubuh Mistik Kristus hidup di dalam cyberspace. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan interpretif-hermeneutis. Peneliti membatasi variabel penelitian ini yaitu Paroki Katedral St. Perawan Maria Gunung Karmel Malang. Pengambilan data akan dilakukan dengan kuesioner, wawancara, dan dokumen-dokumen penting. Tujuan penelitian adalah bagaimana merefleksikan model Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus dalam konteks cyberspace dan pandemi. Hasil penelitian menunjukkan kehidupan paroki Ijen mau tidak mau harus berada dan hidup di dalam jaringan internet. Fenomena ini menghantar Gereja untuk melihat pemaknaan baru konektivitas dalam relasi interpersonal antara Kristus Kepala Tubuh dan anggota-anggota Tubuh-Nya. Konektivitas yang ditekankan yaitu ikatan mistik dalam Kristus Yesus. Ikatan ini berusaha dikuatkan dengan koneksi internet. Dalam dunia digital, kunci relasi interpersonal adalah koneksi. Paroki berusaha menjangkau ikatan spiritual dengan setiap keluarga melalui misa live streaming dan setiap keluarga selalu berusaha untuk terkoneksi dengan parokinya. Penelitian eklesiologi digital ini hanya ingin membuktikan bahwa banyak cara dan jalan untuk tetap menjadi Tubuh Mistik Kristus. Gereja tetap dapat mempertahankan identitasnya di tengah situasi apa pun.
This study focuses on the implementation of the Eucharistic appreciation catechesis in the tradition of kenduri by the Parish of Maria Ratu Damai Purworejo Malang. This research method is qualitative with a critical analysis approach. Researchers will use data from pastoral year reports which are the result of direct observation. The formulation of the problem to be answered is how the implementation of catechesis through kenduri in the light of the shared praxis approach according to Groome. Researchers found that the tradition of kenduri carried out by the parishioners of Maria Ratu Damai is indirectly a catechesis of the Eucharistic appreciation. Catechesis is carried out using symbols. The praxis dimension is very visible in the ujub-ujub (prayer) that the leader makes. However, the share dimension is still not strong enough. Therefore, the researcher provides a suggestion to carry out a deepening of faith with a shared praxis approach to strengthen the share dimension.
This paper is a theological reflection of John 18:28-40. This theological reflection is used as a basic principle of living in the midst of the digital era, especially to fight the culture of fear of missing out (FOMO). This passage is part of the story of the passion of Jesus Christ. In the Gospel of John, the story of Jesus before Pilate is dominated by Jesus’ dialogue with Pilate. In this dialogue, Jesus is shown as the King who proclaims the truth but Pilate rejects this testimony of Jesus. With a strong element of drama in the Gospel of John, the readers of the Gospel will be invited to believe that truth is God’s revelation that requires human participatory communication. The theological reflection that I want to emphasize is that dialogue with Jesus leads people to the depths to understand the mystery of God. But people who are caught up in FOMO have a shallow view of life. People who experience FOMO actually experience isolation and loneliness and then look for shortcuts. Deep dialogue with Jesus is necessary to gain spiritual strength to face isolation and loneliness in life.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.