The second wave of Covid-19 has hit Indonesia in the last few months. This marks a new chapter for the Covid-19 variant in Indonesia, which is indicated by a very high transmission rate. At the same time, the government is trying to take preventive measures to prevent the spread of Covid-19, one of which is a call for a Covid-19 vaccine. In this regard, this article will look at the relationship between governance actors in efforts to prevent Covid-19 in Indonesia, with an emphasis on the involvement of civil society and private actors in handling Covid-19 in Indonesia. By using a qualitative method, this article takes a literature study by comparing the results of observations made by observing the development of Covid-19 and the involvement of various actors, especially in terms of preventing Covid-19 such as vaccination. This article concludes that the spread of Covid-19 is still very high, meanwhile the involvement of actors in handling Covid-19 tends to be limited and closed. The actors involved are mostly dominated by the government, while the private sector and civil society have not been involved much. This article will contribute at least practically, to be discussed further, especially to formulate a scheme for the involvement of other actors outside the government, while still prioritizing the security and welfare of the community.
Penelitian ini berangkat dari kondisi empirik mengenai realisasi vaksin yang berlangsung di Indonesia. Dengan mengambil kasus di Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan menjadi perhatian nasional mengenai realisasi vaksin dengan kondisi yang problematis, satu sisi stok ketersediaan vaksin yang tertinggi di Indonesia, namun disisi lain tingkat realisasi vaksin yang masih rendah. Kondisi ini memantik perhatian mengenai realisasi vaksin dengan mengajukan pertanyaan bagaimana peran dan kontribusi pemerintah dalam merealisasikan vaksin serta respon masyarakat dalam menyikapi vaksinasi nasional di Kalimantan Selatan. Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah Agile Governance. Pendekatan ini setidaknya untuk memotret peran dan kotribusi pemerintah dalam kesiapannya merealisasikan vaksin nasional. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif dengan memadukan pada observasi lapangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa realisasi vaksin yang rendah di Kalimantan Selatan di sebabkan oleh adanya resistensi dari masyarakat yang menolak untuk divaksin. Resistensi ini dipicu dari polarisasi pemberitaan mengenai vaksin yang kebanyakan lebih tendensius pada hal yang negatif. Implikasinya berdampak pada keyakinan masyarakat mengenai vaksin yang terbangun dengan citra yang buruk. Studi ini memberikan insentif teoritis dalam memahami kembali konsep Agile Governance.
Kemampuan pengembangan ekonomi desa merupakan salah satu cara untuk melihat kemandirian desa, namun tidak banyak desa yang mampu melakukannya untuk mencapai level kemandirian desa, salah satunya adalah Desa Sampirang I (Satu) yang mendapatkan label sebagai desa sangat tertinggal. Setiap desa memiliki potensi yang digunakan dalam pengembangan ekonomi, tanpa terkecuali Desa Sampirang I (Satu) yang berada di Kecamatan Teweh Timur, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi potensi-potensi yang ada di desa, dan menemukan model pengembangan ekonomi yang tepat agar dapat menjadi rekomendasi bagi desa-desa dengan kondisi yang sama. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, maka penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan case study. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur, indepth interview dan observasi non partisipan. Sementara itu analisis data dilakukan dengan model analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa Desa Sampirang I (Satu) Memiliki berbagai potensi baik sumber daya alam terbarui, sumber daya manusia dan BUM Desa sebagai potensi kelembagaan yang merupakan modal awal dalam pengembangan ekonomi lokal. Namun hal tersebut belum dikonversi dan diaktualisasikan karena adanya disparitas pembangunan yang membuat high cost economic dan tidak adanya intrusi multi-sektor yang menyentuh desa. Oleh sebab itu, dalam model pegembangan ekonomi lokal harus dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap inisiasi dan tahap aksi, pemerintah desa dan BUM Desa menjadi main actor dengan peran dominan pada masing-masing tahapan. Tahapan inisiasi didominasi oleh kekuasaan dan kewenangan pemerintah desa untuk melakukan pembuatan kebijakan yang berorientasi pada pengembangan perekonomian desa yang berkelanjutan, membuka kerja sama dengan berbagai pihak, melakukan percepatan pembangunan melalui lobby dan negosiasi dengan pemerintahan yang lebih tinggi, serta melakukan penguatan kelembagaan BUM Desa. Sementara itu tahap aksi, BUM Desa sebagai motor pengerak dengan mengktualiasasikan dan melakukan value upgrading dari produk hasil sumberdaya alam yang terbarui, serta marketing produk yang dihasilkan. Model pengembangan ekonomi lokal dapat dicapai jika adanya upaya optimal dari Pemerintah Desa dan BUM Desa bersama-sama dengan aktor lain baik public sektor, privat sektor, dan akademisi dalam jalinan kerjasama dan kemitraan serta kolaborasi untuk membangun ekonomi lokal yang berkelanjutan.
This research will further explore the practice of Good Financial Goverance (GFD), with case studies on the partnership process that took place between the city government of Makassar with PT.GMTD in managing the finances for the participation of local government capital. The research will focus on actor relationships taking place between actors involved in capital partnerships as a recipe offered by Good Financial Governance. The research used qualitative method with researcher location in Makassar South Sulawesi, Indonesia.The main argument of this study is to question the claims of Good Financial Governance, which relies on economic development issues and good financial governance by opening investment shells and the involvement of actors outside the government. For this study, the claim is completely wrong. The results of this study found that good financial governance actually gave birth to a new problem that is Exclusivity Actors. Exclusivity of actors as a consequence of the unequal amount of capital on actors involved in Good Financial Governance. Exclusion of Actors Governance impact on the limits of power between governance actors to be biased, depending on the composition of capital in partnership.Keyword : Exclusivity of Actor, Good Financial Governance, Capital Governance
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.