Apa itu ilmu psikologi? Pertanyaan semacam ini cukup lazim di antara akademisi psikologi. Pertanyaan ini terus menerus muncul dalam sejarah psikologi, seolah-olah para peneliti dan akademisi psikologi tidak pernah merasa kerasan tinggal di rumahnya sendiri. Seperti seseorang yang mendiami rumah baru, beberapa tampak asing dan beberapa tampak familiar, namun selalu timbul perasaan ada yang tidak cocok. Orang awam dengan mudah menyebutkan psikologi sebagai ilmu jiwa dengan merunut pada etimologinya, psike, namun para akademisi terombang-ambing antara psikologi sebagai ilmu perilaku dan ilmu mental. Asosiasi psikologi Amerika yang menjadi acuan sebagaian besar akademisi psikologi di Indonesia mendefinisikan psikologi sebagai, ilmu yang meneliti pikiran dan perilaku atau kajian ilmiah terhadap perilaku individu dan proses-proses mentalnya (Perez-Alvarez, 2018). Kesulitan terutama yang dihadapi untuk menentukan ruang lingkup psikologi salah satunya berasal dari upaya menggambarkan psikologi sebagai ilmu yang dipandang “sejati”, yakni ilmu yang mengikuti kaidah dan norma cara meneliti ilmu alam. Jika psikologi harus beroperasi seperti halnya ilmuwan fisika, data tentang pengalaman subjektif mengenai perjuangan seseorang untuk mencapai kesejahteraan mental maupun berbagai pengalaman psikologis lainnya tidak dapat masuk hitungan. Standard emas menurut pendekatan ini, sering disebut sebagai pendekatan positivisme, adalah gejala yang dapat teramati oleh pihak ketiga. Dan yang paling memenuhi standar ini adalah gejala perilaku, seperti jumlah air liur yang keluar atau jumlah perilaku menginjak pedal di dalam kotak Skinner. Perilaku seperti itu dapat diamati oleh pihak ketiga dan sekaligus dapat dihitung. Tes-tes prestasi dan tes kemampuan lain dapat digolongkan ke dalam perilaku yang teramati, karena dalam tes semacam itu berapa jumlah soal yang terjawab dengan benar dapat diketahui oleh siapapun. Tes inventori maupun skala sikap meskipun memiliki penampakan yang sama dengan tes prestasi atau kemampuan, dalam standar emas ini kurang dapat diterima karena masih mengandalkan pelaporan diri yang tak dapat diperiksa oleh pihak ketiga. Peneliti yang menggunakan peralatan ini berasumsi bahwa pengakuan testee dapat dipercaya, ketika ia menyatakan bahwa perilakunya sesuai atau tidak sesuai dengan item pernyataan. Namun karena pengakuan itu dapat direpresentasikan dalam derajat angka kesetujuan dan dapat dibandingkan tingkat kesetujuan antar responden, publik akdemik psikologi cenderung dapat menoleransi kelemahan tersebut. Alhasil studi-studi psikologi dipenuhi dengan data-data kuesioner berskala. Yang tidak mudah diterima oleh arus utama psikologi modern adalah narasi dan pengakuan verbal pihak pertama, si pelaku atau si orang yang mengalami keadaan dan peristiwa yang menjadi topik penelitian. Isi dari pengakuan verbal dan narasi pengalaman tidak dapat disaksikan secara langsung oleh pihak lain. Orang lain hanya dapat merasakan dan membandingkannya dengan perasaan dan gambarannya sendiri. Proses ini memerlukan sikap empatik dan intersubjektivitas peneliti, yaitu sejauh mana narasi dan pengakuan itu dapat menjadi masuk akal di dalam dunia subjektif peneliti atau pendengar lain. Asosiasi psikologi arus utama seperti Asosiasi Psikologi Amerika telah menerima keberadaan penelitian kualitatif sebagai bagian dari praktek disiplin ilmiah psikologi di dalam Divisi 5 Asosiasi Psikologi Amerika: Division for Quantitative and Qualitative Methods (American Psychological Association, 2022). Penerimaan ini tidak serta merta membuat kajian kualitatif dipandang sejajar dengan kajian kuantitatif. Posisinya tetaplah marginal (Kidd, 2002; Rennie, 2012). Keengganan ini selain bersumber dari sifat data yang naratif dan pengakuan diri, juga bersumber dari sifat interpretatif dari analisis data kualitatif yang mengancam generalitas, validitas sekaligus berseberangan dengan gambaran ilmu yang positivistik (Kidd, 2002). Interpretasi peneliti dalam proses pemerolehan data hingga analisis data kualitatif tidak dapat dihindari. Dunia kesadaran dan pemaknaan hanya dapat terkomunikasikan dengan jelas melalui narasi dan bahasa yang memerlukan penafsiran dari pihak pendengarnya. Bahkan proses interpretasi sudah dimulai ketika pengalaman ataupun peristiwa itu terjadi. Di dalam dunia phenomenal orang berhadapan dengan dunia yang tak terdefinisikan dengan jelas. Si pelaku atau si penderita mencoba menggambarkan apa yang dialaminya dengan kata-kata dan narasi. Ia menerka-nerka apa yang dialaminya dan mencoba menuturkannya dengan perangkat yang dapat dipahami oleh pendengarnya. Demikian juga pendengarnya. Ia mencoba untuk membayangkan apa yang dirasakan dan dialami si pencerita dan sekaligus mengkonseptualisasikannya dalam kosa kata yang dapat dimengerti oleh pembaca, yakni publik ilmiah psikologi. Pemahaman dunia kesadaran dan pemaknaan memerlukan penafsiran yang berujung pada rasa kesamaan pengalaman atau empati (Kendler, 1970). Hampir mirip dengan orang yang membaca novel. Novel yang bagus dinilai dari kemampuannya untuk menginduksi pengalaman yang sama dalam diri pembacanya. Celakanya sebagian besar pengalaman psikologis kita hanya terkomunikasikan melalui medium kata-kata dan narasi. Menolak mode penelitian semacam ini akan membuat banyak hal dari kehidupan kita tidak mendapat tempat dalam dunia psikologi ilmiah.Kesadaran dan pemaknaan terhadap pengalaman adalah mode sehari-hari orang tinggal di dunia bersama dengan orang lain. Untuk menyatakan kesadaran maupun pemaknaan orang memerlukan simbol-simbol yang diciptakan bersama secara kolektif. Pembedaan manusia dari spesies hewan adalah dunia simbolik tersebut. Cassirer (1987) menyebut manusia sebagai binatang simbolik. Urusan manusia bukan hanya terarah pada dunia alamiah tetapi terutama pada dunia simbolik ciptaannya sendiri yang dimaksudkan untuk menggambarkan dunia alamiah di luar sana maupun dunia perasaan dan imajinasi di dalam diri sendiri. Bahasa dan simbol menjadi penghubung antar manusia maupun penghubung antara manusia dengan dunia alamiahnya (baik dunia eksternal maupun dunia internalnya). Dunia simbolik tersebut merupakan rekayasa kolektif atau kebudayaan. Pengalaman pribadi sekalipun tak dapat terpahami oleh diri sendiri jika tidak melewati dunia simbolik tersebut. Dengan kata lain pemahaman diri sendiri atas kehidupan sekaligus merupakan pemahaman bersama melalui kegiatan berbicara dan bercerita (Bruner, 2004). Ruang lingkup psikologi tidak bisa dibatasi hanya pada dunia mental phenomenal maupun perilaku individu, seperti yang didefinisikan oleh APA tetapi merentang dari rasa kebertubuhannya hingga dunia semiotik / simbolik yang bersifat kolektif dan kultural. Henriques (1983; 2004) menggambarkan psikologi sebagai dunia antara ilmu-ilmu biologi dan ilmu-ilmu kemanusiaan kultural. Individu yang menjalani kehidupan tinggal dalam tiga dunia secara simultan: dunia tubuhnya, dunia psikologisnya dan dunia sosial-kulturalnya (Perez-Alvarez, 2018). Freud (1949) menggambarkan dunia mental manusia baik yang disadari maupun tidak disadarinya dengan mengacu pada tiga dunia tersebut secara sekaligus yakni id (dunia tubuh dengan segala gambaran mengenai nafsu maupun dorongannya), ego (rasa kedirian dan individualitas) dan super ego, yang secara harafiah berarti dunia diatas ku, yaitu dunia sosial dan kultural yang termediasi melalui kehadiran orangtua. Kehidupan seseorang tidak terbayangkan tanpa ketiga dunia tersebut. Pengalaman badaniah selalu akan mewarnai rasa kedirian seseorang baik sebagi pelaku (agen) maupun sebagai penderita (orang yang merasakan pengalaman) dan perasaan kedirian itu selalu mengandaikan adanya kehidupan bersama orang lain. Jika psikologi akademis memiliki komitmen terhadap kenyataan ini mau tak mau dunia akademis psikologi akan memeluk pluralitas epistemologis-metodologis maupun ontologis ini. Artikel pertama dalam edisi ini yang berjudul “Analisis Statistika dalam Riset-Riset Psikologi Komunikasi: Sebuah Studi Literatur” mencoba memetakan kecenderungan metodologis para peneliti ketika meniliti dunia komunikasi. Artikel kedua, “Hubungan antara Regulasi Diri dengan Fear of Missing Out pada Mahasiswa Pengguna Media Sosial” memperlihatkan keterkaitan dunia internal dengan dunia sosial yang menjadi habitat kehidupan seseorang. Upaya untuk mendeskripsikan dunia phenomenal dengan memanfaatkan cerita maupun dunia simbolik kata tampak dalam dua artikel berikutnya yang berjudul: “Dinamika Meaning Making Process pada Emerging Adulthood dengan Riwayat Adverse Childhood Experiences dan Non Suicidal Self Injury”, serta “Analisis Tematik Kebahagiaan pada Milenil Kelas Menengah”. Kedua artikel tersebut menggunakan metode penelitian kualitatif. Artikel kelima yang berjudul “Efek Stress terhadap False Memory Recall dan Recognition”, memperlihatkan bagaimana proses pemaknaan yang terepresentasikan dalam false memori bersifat kokoh dan tidak terganggu oleh kehadiran stres. Artikel keenam, “Keterikatan Kerja dan Intensi Turnover pada Karyawan Generasi Y” menunjukkan intensi seseorang tidak dapat dilepaskan dari pengalamannya. Keragaman topik dan metodologis dari berbagai artikel tersebut dapat ditawarkan sekaligus pada para pembaca karena komitmen Jurnal ini terhadap pluralitas epistemologis-metodologi maupun ontologis, sepanjang mengacu pada tiga dunia tempat habitat manusia. Selamat Membaca!
This study aimed to find out how young adult understand the economic disparity issue and whether ideas related to that problem had authoritarianism and materialism inclinations. The study was done to group of university students age 18 – 30 years old. There were 295 people participating in the study. It utilized survey with open ended questionnaire to figure out participants’ feelings and thoughts toward economic disparity. Subjects also filled out authoritarianism and materialism scales. The result showed that subjects’ responses toward economic disparity could be categorized into three types: 1) critical response (structural), 2) naive individualistic response and 3) fatalistic response. Most subjects provided naive individualistic response. Result of cross tabulation test showed that authorianism had negative correlation with critical response but had positive correlation with naive individualistic response. Materialism had positive correlation with naive individualistic response. Authorianism and materialism were not related to fatalistic response.
Authoritarians tend to have submissive attitude toward authority, conservative, and ready to punish groups that have different moral attitudes. These characteristics are not conducive for development of democratic society. This meta-analytical study tries to test relation between authoritarianism and support for democratic values. From 60 articles with 117 studies and 74432 total participants, we found that authoritarianism have negative significant correlation with support for democratic values (Mean effect size=-.3892; p< 0.05). Authoritarianism correlates negatively with support for civic liberty and human rights. Authoritarianism also correlates positively with support for blind nationalism, military interventions, prejudice and discrimination toward groups from different races, immigrants and homosexuals. Authoritarianism can be hindrance for democratization processes. Keywords: authoritarianism, civil rights, democracy, discrimination, human rights PengantarDukungan 1 pada demokrasi merupakan salah satu kebijaksanaan masyarakat yang diperlukan bagi penguatan demokrasi di suatu negara. Hanya saja tidak mudah menumbuhkannya manakala di dalam masyarakat tersebut juga tumbuh nilai-nilai yang bersifat otoritarian, seperti nilai ketaatan, nilai-nilai moralitas konvensional dan kecenderungan agresif terhadap hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan norma umum masyarakat (Altemeyer, 2006). Studi yang dilakukan Welzel (2007) menunjukkan dukungan masyarakat terhadap pemerintah demokratis, maupun terhadap nilai-nilai demokrasi seperti nilai kebebasan sipil, toleransi terhadap perbedaan, sikap percaya pada sesama serta partisipasi dalam kehidupan sosial, berkorelasi dengan indeks 1 Korespondensi mengenai artikel ini dapat dilakukan
The essence of education is communication between educators and students. Teaching as a school education practice has two aspects, namely informative in the framework of forming skills and formative in the context of forming the personality of students. This current study aims to reveal the formative aspects of teacher-student communication patterns in the context of learning subjects in class based on Lacan's Theory of the Four Discourses. The research participants consisted of teachers and students of grades IV and V as class units who were carrying out Social Sciences lessons in three elementary schools in Yogyakarta. Data were collected through audio recordings of teacher-student communication in class. Data were transcribed and analyzed by four researchers separately, the results were discussed to find emerging themes derived from Lacan's Theory of the Four Discourses. The results showed that three types of Lacanian discourse emerged in teacher-student communication in the three schools studied, namely Discourse of the Master, Discourse of the University, and Discourse of the Analyst. This research will be followed up with research on the types of Lacanian discourse that are applied in writing textbooks for subjects in elementary schools including but not limited to Social Sciences.
How do young people understand democracy? This study tries to find out the ideas of young people about democracy and its basic structure using the Social Representation approach. Young people aged between 17 to 33 years (N = 237 people) participated in this study. Data collection was carried out using a survey technique by asking them what they thought about democracy and what values they saw as the basic values of democracy. The three main ideas of young people about democracy are freedom of opinion (63.98%), plurality and equality (62.03%) and justice (48.52%). These three ideas are basic values for the formation of assertive citizens and at the same time reflect the need for young people to be independent and participate. Multidimensional scaling statistical techniques are used to summarize and capture the basic structure of 13 ideas about democracy. There are two main dimensions found. The first dimension describes democracy as a tension between the ideas of liberal democracy (freedom of opinion and equality-plurality) and the idea of integralism (prosperity, unity, law and order, responsibility and honesty). The second dimension describes democracy as the tension between the principles of justice and the principles of people's sovereignty (people's sovereignty, deliberations, general elections and togetherness). These two dimensions may reflect the history of the democratic experience of the Indonesian people who have experienced various trials of applying different ideas about democracy.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.