Makalah ini bertujuan untuk membahas mengenai diplomasi siber (cyber diplomacy) dan apa yang bisa dijanjikannya untuk menuju masyarakat internasional yang damai di era digital. Ruang siber telah memiliki tempat khusus dan menjadi topik yang sangat penting dalam hubungan internasional. Topik ini telah menjadi arus utama karena sebagian besar aktor-aktor global telah menuangkan kebijakan-kebijakan luar negerinya dan mengadopsi berbagai langkah untuk mengejar tujuan-tujuan stategisnya di dalam ruang siber. Hal ini dapat dilihat misalnya pada penggunaan media sosial oleh Kementerian Luar Negeri untuk mempromosikan negara, kebijakan, dan nilai-nilainya. Namun, kegiatan di ruang siber tidak selalu damai. Terdapat dua kelompok negara yang bersaing untuk tata kelola keamanan siber global dan adanya persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan China dalam memperebutkan keamanan siber. Konflik kepentingan antarnegara inilah yang membuat cyber diplomacy diperlukan untuk menengahinya dan mencegah perang siber yang terbuka. Cyber diplomacy adalah praktik internasional yang muncul atas upaya untuk membangun masyarakat siber internasional, dengan menjembatani antara kepentingan nasional negara dan dinamika masyarakat dunia. Oleh karena itu, tujuan dari cyber diplomacy adalah untuk memenuhi fungsi-fungsi tradisional diplomasi, seperti menjaga perdamaian serta membangun rasa saling percaya di antara para pemangku kepentingan, di ruang siber. Makalah ini menggunakan teori Diplomasi dari mazhab English School untuk menganalisis apa yang bisa dijanjikan cyber diplomacy bagi penggunaan ruang siber yang damai. Ada dua fungsi utama dari cyber diplomacy, yaitu sebagai alat komunikasi internasional untuk membangun norma siber bersama dan sebagai upaya untuk meminimalkan gesekan di ruang siber.

This explains why Indonesia was not a priority for the European Union (EU) in negotiating a bilateral FTA (Free Trade Agreement). Qualitative analysis was used and data was collected in the form of books, articles, journalism, and official pages from relevant organizations. Foreign Policy theory was employed to define Indonesia's status in regard to the EU. Using this theory, the internal and external factors of the EU were analyzed. The analysis revealed that Indonesia was indeed not a priority for the EU when bilateral FTA negotiations began in 2010. The EU internal factors demonstrate the fact that Indonesia is not popular in Europe; the EU had experienced a trade deficit with Indonesia; the EU was occupied with the election of the European Parliament; the EU conducted economic relations with many other countries in the world, hence it had to divide its priorities; and the EU's perception of Indonesia related to environmental issues is also unfavorable. Whereas, there were also two external factors that greatly influenced the EU's decision not to prioritize Indonesia. The first was the condition of Indonesia-EU economic relations and Indonesia's domestic condition. Indonesia is not the EU's primary trading partner in ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). The EU economic relations with other countries in ASEAN like Singapore and Malaysia are more significant than those with Indonesia. In terms of Indonesia's domestic condition, Indonesia is not as competitive as other countries in ASEAN like Singapore, Malaysia, and Thailand. In terms of GDP (Gross Domestic Product), Indonesia is also behind Singapore, Brunei Darussalam, Thailand, and Malaysia. Moreover, the policies and regulations issued by Indonesia in 2014 were also unfavorable for in terms of trade with the EU. Likewise, the investment climate in Indonesia is not more favorable than in Thailand, the Philippines, and Vietnam. For Indonesia, the EU is equally not a priority target for cooperation because Indonesia is focusing on cooperation with countries in ASEAN and China. As an international actor, the EU is also less known in Indonesia.