Diskusi perempuan tidak lagi menjadi hal yang tabu. Entitasnya lebih meningkat pasca munculnya gerakan feminisme, yang menyuarakan hak-hak perempuan akan fakta ketimpangan sosial selama ini. Gerakan ini memang belum lama muncul, namun kehadirannya banyak melahirkan gagasan progresif, yang menjawab kegelisahan sebagian besar kaum hawa di era serba digital ini. Pendapat lain mengatakan bahwa gerakan feminisme merupakan cabang dari isu-isu seputar liberalisme, yang telah menjangkiti kaum muslimin di Indoneisa. Kehadirannya sekaligus menuai kritikan keras oleh kaum fundamentalis, yang berusaha menjaga keotentikan sumber-sumber otoritatif, yaitu al-Qur’an dan Hadits, sehingga dua kubu tersebut, hampir sukar untuk dipadukan. Tulisan ini merupakan kajian kepustakaan yang menggunakan metode analisis-deskriptif. Hasilnya, bahwa dalam memaknai feminisme, tidak bisa disamakan dengan konsep bertauhid yang memiliki prinsip absolut. Kajian feminisme merupakan bagian dari konsep mu’amalah atau inteaksi sosial dalam berislam, sehingga dalam praktinya, segala bentuk dalil hukum (baik naqli maupun ‘aqli) yang dimiliki oleh dua kubu, tidak memilik hak untuk saling menjastifkasi atas kebenaran, karena dalam konsep bersosial, islam memiliki kelenturan hukum yang relevan bagi setiap zaman. Kebenaran (dalam diskursus feminisme) adalah perpihak pada peningkatan ketaqwaan yang dimiliki oleh setiap individu, sehingga benar atau tidaknya istinbath hukum atau gagasan yang ditawarkan oleh dua kubu, semuanya dikembalikan pada masing-masing individu.