Paradigma agama-agama dunia sangat mempengaruhi wawasan tentang agama di Indonesia. Paradigma keagamaan dunia telah menempatkan masyarakat adat dalam diskriminasi, dan mereka kesulitan menjalankan praktik keagamaan yang telah mereka lakukan secara turun-temurun. Tulisan ini merupakan kajian kritis terhadap kajian-kajian sebelumnya terhadap masyarakat Adat Karampuang yang masih memandang tradisi, hubungan masyarakat dan alam, serta kearifan lokal melalui paradigma agama-agama dunia. Artikel ini ditelaah melalui pendekatan religi tradisional. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara Masyarakat Adat Karampuang dengan alam, kearifan ekologi Masyarakat Adat Karampuang dalam melestarikan alam, dan tradisi Masyarakat Adat dalam menjaga kearifan ekologi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara dengan informan kunci yang didukung dengan literatur. Pertama, ditemukan bahwa Masyarakat Adat Karampuang melihat alam sebagai subyek atau pribadi. Hubungan ini dimaknai sebagai Mapakalebbi Ale Hanua (penghormatan terhadap alam. Hubungan dibangun karena kesadaran bahwa manusia adalah bagian integral dari hutan itu sendiri. Kedua, kearifan ekologis masyarakat Karampuang diturunkan dari generasi ke generasi melalui Paseng (pesan-pesan) dari adat melalui Lontara dan tuturan lisan seperti Makkamase Ale (mencintai hutan), Mappakatuo Ale (memanusiakan hutan) dan Tuo Kamase-mase (hidup setara dan selaras dengan alam) dalam melestarikan alam.