“…(f) Ketika teradi kerugian terhadap konsumen, pelaku usaha memiliki kewaiban mengganti kerugian terhadap konsumen Pada UU Perlindungan Konsumen, pengaturan mengenai tuntutan kewajiban pelaku usaha lebih banyak dibandingkan dengan hak yang diterima pelaku usaha. Misalnya saja perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yaitu (Nawi, 2018): (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau perdagangkan barang yang: (a) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, (b) Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih dan jumlah dalam hitungan sebagaimna yang dinyatakan dlam label, (c) Tidak sesuai dengan ukuran,takaran dan sejenisnya menurut ukuran yang sebenarnya, (d) Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana yang tertera pada label, (e) Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan pada label, (f) Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebu, (g) Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; (h) Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label; (i) Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan yang harus dipasang/dibuat; (j) Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa indonesia yang sesuai dengan ketentuan. (2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud.…”