“…Ini semua secara intensif dibentuk semenjak bayi hingga dewasa (Hurlock, 2002), agar individu tersebut mengontrol emosi di hadapan orang lain, bisa menilai situasi secara kritis, memiliki reaksi emosi yang stabil (Widyatno, Atmoko, & Viatrie, 2018), mampu beradaptasi dan menerima beragam orang, kondisi, situasi, dan memberikan tindakan yang tepat sesuai tuntutan (Marimbuni & Ahmad, 2017) Setiap kematangan emosi memiliki ciri dan aspek tersendiri sesuai dengan pendidikan atau pengalaman yang mereka dapatkan pada setiap perkembangannya, matang tidaknya emosi, disebabkan beberapa faktor, setiap faktor tersebut perlu diperhatikan betul oleh setiap pendidik. Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi adalah sebagai berikut: Faktor lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun sosial, faktor individu (kepribadian) (Ramadhany, Soeharto, & Verasari, 2016), faktor pengalaman yang diperoleh individu (Syarif, 2015), jenis kelamin (kondisi psikologis) (Ulfah & Syafrizaldi, 2017), perubahan fisik, pola interaksi dan komunikasi dengan orang tua, interaksi dengan teman sebaya, (Aridhona, 2017) cara pandang dan interaksi dengan sekolah (Putri & Abdurrohim, 2015), pola asuh orang tua, temperamen (Kusumawardhani, Sagala, & Khasanah, 2019), usia perkembangan kematangan emosi, perkembangan kelenjar (Rulidha & Mariyati, 2019), stimulus yang mempengaruhi emosi negatif atau positif dan arousal (fenomena aktivasi organ yang dipengaruhi keadaan psikologis dan fisiologis) (Asmoro, Matulessy, & Meiyuntariningsih, 2018).…”