Abstract. A number of forms of social care have become church traditions throughout time. On the other hand, many have predicted that in 2023 the world, including Indonesia, will experience quite heavy economic pressure. In a situation like this, what if the church also experiences a crisis, either financially or in terms of other resources? Can the tradition of social care be annulled? To answer this question, this paper conducted argumentation analysis and social analysis in interpreting 1 Timothy 5:3-16. This study showed that Paul reminded the congregation leader (Timothy), that despite limited conditions, he must not annul this tradition, but in its implementation it must be making sense and educating. Thus, it can be concluded that the church in Indonesia needs to apply making sense and educating principles in practicing a number of social care traditions.Abstrak. Sejumlah bentuk kepedulian sosial telah menjadi tradisi gereja di sepanjang masa. Pada sisi lain, sejumlah pihak memprediksi bahwa pada 2023 dunia, termasuk Indonesia, akan mengalami tekanan ekonomi yang cukup berat. Dalam situasi seperti ini, bagaimana jika gereja ternyata juga mengalami krisis, baik krisis dalam hal keuangan maupun dalam hal sumber daya yang lain? Dapatkah tradisi kepedulian sosial itu dianulir? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini menggunakan analisis argumentasi dan analisis sosial dalam memaknai 1 Timotius 5:3-16 ini. Kajian ini menunjukkan bahwa Paulus mengingatkan pemimpin jemaat (Timotius) meskipun kondisi keterbatasan tidak boleh menganulir tradisi tersebut, tetapi dalam pelaksanaannya haruslah rasional dan mendidik. Dengan demikian dapat disimpulkan, gereja di Indonesia perlu menerapkan prinsip rasional dan mendidik dalam mempraktikkan sejumlah tradisi kepedulian sosial.