<p><em>Indonesia sebagai negara hukum adalah negara yang mengakui hak konstitusional warganya termasuk hak untuk bebas dari segala bentuk penyiksaan seperti tindak pidana kekerasan seksual dan salah satunya adalah pemerkosaan. Walaupun demikian, kasus pemerkosaan khususnya terhadap wanita semakin meningkat setiap tahunnya dan bahkan pelaku tindak pidana pemerkosaan bukan lagi orang dewasa saja, tetapi juga anak-anak yang berusia 12 sampai 18 tahun. Dalam menangani anak selaku pelaku tindak pemerkosaan tentu tidak bisa disamakan dengan orang dewasa karena hal ini pun telah diatur dalam Undang-undang Sistem Peradilan Anak, namun di lain sisi tetap saja masih banyak pihak-pihak yang tak setuju seorang anak selaku pelaku tindak pemerkosaan diproses melalui Sistem Peradilan Anak. Penelitian ini berusaha menegaskan standing point bahwa anak yang melakukan tindak pemerkosaan dan diproses melalui sistem peradilan anak bukanlah suatu pelanggaran hukum. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif dengan dua pendekatan yaitu statute approach dan conceptual approach. Hasil penelitian menemukan bahwa dengan tidak diberikannya sanksi hukum sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Sistem Peradilan Anak justru akan memberikan ketidak adilan bagi korban dan juga dapat memberikan dampak negatif terhadap anak selaku pelaku tindak pidana pemerkosaan di kemudian hari.</em></p><p><strong><em>Kata kunci</em></strong><em>: Pemerkosaan, Anak, Pidana, Keadilan, Diversi</em></p>