Manifestasi hidup manusia di Indonesia dan dunia adalah perkawinan. Secara adat, perkawinan merupakan kesepakatan antara laki dan perempuan untuk menjadi satu, baik secara batiniah maupun lahiriah untuk tujuan tertentu. Perkawinan bukan hanya urusan seorang pria dan wanita yang akan melangsungkan perkawinan melainkan juga urusan keluarga. Partisipasi keluarga dalam perkawinan adat Ende-Lio menjadi tanda ikatan kedua keluarga yang tidak dapat dipisahkan. Fokus utama artikel ini ialah bagaimana sikap Gereja Katolik mengenai Tradisi belis. Metodologi yang digunakan ialah penelitian kualitatif yaitu merujuk pada penelitian kepustakaan. Tradisi belis dalam masyarakat adat Ende-Lio masih relevan sampai saat ini. Belis dalam perkawanian adat Ende-Lio selalu mempunyai peran yang sangat penting dan utama. Belis menjadi kata kunci untuk membuka pintu pembicaraan dalam rencana untuk mengadakan sebuah perkawinan adat. Adapun belis memiliki fungsi sebagai syarat perkawinan, refleksi status sosial perempuan dan berpindahnya “kepemilikan” perempuan dari keluarga wanita ke keluarga pria. Studi ini bertujuan untuk melihat bagaimana tanggapan Gereja mengenai tradisi belis, dengan menggunakan Kitab Hukum Kanonik kanon 1057 sebagai landasan. Studi ini menemukan bahwa Tradisi belis dalam masyarakat Ende-Lio merupakan suatu bentuk pencegahan terhadap masalah penceraian dan poligami serta mempererat hubungan kekeluargaan dari kedua belah pihak. Bagi masyarakat Ende-Lio belis adalah unsur penting dalam lembaga perkawinan. Belis dipandang sebagai tradisi memiliki nilai luhur dan juga sebagai bentuk penghargaan terhadap kaum perempuan.