Mukormikosis Rino-Orbito-Serebral pada Diabetes Melitus

Abstract

Mukormikosis rino-orbito-serebral (ROS) adalah penyakit angioinvasif akibat infeksi jamur Mucorales yang sering ditemukan pada pasien diabetes melitus (DM). Penyakit ini memiliki gambaran khas jaringan nekrotik kehitaman disebut eschar, sehingga disebut juga infeksi “jamur hitam”. Tingkat mortalitas penyakit ini tinggi terutama jika diagnosis dan tata laksana terlambat. Patogenesis mukormikosis ROS pada pasien DM antara lain: interaksi reseptor sel epitel dengan protein jamur, kadar besi bebas dalam darah, dan penurunan imunitas seluler. Diagnosis berdasarkan gambaran klinis dengan faktor risiko, identifikasi jamur, dan pencitraan. Pemeriksaan histopatologis dari jaringan biopsi dapat dikonfirmasi dengan hasil kultur. Tata laksana mukormikosis ROS pada penderita DM meliputi kombinasi debridemen, pemberian antijamur, dan mengatasi kondisi hiperglikemia.
 Rhino-orbital-cerebral mucormycosis (ROCM) is an angioinvasive disease caused by Mucorales fungal infection; it is common in diabetes mellitus (DM) patients. The disease has a characteristic feature of black necrotic appearance called eschar, thus also called as “black fungus” infection. The mortality rate of this disease is high, especially in delayed diagnosis and treatment. The pathogenesis of ROCM in diabetic patients includes the interaction of epithelial cell receptors with fungal proteins, free iron blood levels, and decreased cellular immunity. Diagnosis is based on clinical features, supporting risk factors, fungus identification, and imaging. Histopathological examination on biopsy tissue confirmed by culture can establish the diagnosis. Management includes a combination of surgical debridement, antifungals, and glycemia control.

Upaya Pencegahan Peningkatan Osteoarthritis pada Lansia Di Posyandu Kleben Desa Gedongan, Kec. Colomadu, Kab. Karanganyar

“…Osteoartritis bersifat kronis, progresif lambat, menyebabkan peradangan ringan atau sering non-inflamasi, degenerasi, keausan tulang rawan sendi dan pembentukan tulang baru pada permukaan sendi. Osteoartritis dapat merusak berbagai sendi di tubuh, namun lebih sering menyerang sendi yang menopang berat badan, seperti lutut dan pinggul (Ilmiawan et al, 2022) Osteoartritis terjadi antara usia 40 dan 60 tahun dan terus meningkat seiring bertambahnya usia (Wijaya, 2018). Berdasarkan data WHO, penderita OA di Indonesia sekitar 8,1% dari total populasi.…”

“…Keluhan utama yang dialami berupa nyeri, menurut Pristianto et al, (2022) Nyeri dan gejala OA lainnya berdampak besar pada kualitas hidup, memengaruhi fungsi fisik dan parameter psikologis. Gejala yang paling umum adalah nyeri terus-menerus, kekakuan sendi di pagi hari, penurunan fungsi sendi, krepitasi, mobilitas terbatas, dan pembesaran tulang (Wijaya, 2018).…”

“…Beberapa factor tersebut dapat menyebabkan kelemahan pada otot-otot di sekitar sendi lutut yaitu otot quadriceps dan hamstring serta meningkatkan kasus artroplasti (Lespasio et al, 2017). Selain mengalami kelemahan pada otot-otot di sekitar sendi lutut, gejala yang timbul ketika seseorang mengalami OA adalah nyeri pada sekitar sendi, kekakuan sendi di pagi hari, menurunnya fungsi sendi, adanya krepitasi, dan berkurangnya range of motion (Wijaya, 2018). Sehingga tujuan diberikannya latihan hold relax stretching yaitu untuk meningkatkan relaksasi otot guna mencegah peningkatan osteoarthritis lutut.…”

Comparison of treatment duration for drug resistant pulmonary tuberculosis with vs. without type 2 diabetes mellitus

“…DM sufferers have disturbances in the body's immune response that can facilitate the occurrence of Mycobacterium tuberculosis infection and can cause TB. DM sufferers have a 2-3 times higher risk of developing pulmonary TB disease than patients without DM [3][4][5].…”

“…Pulmonary TB cannot improve in the presence of unmanaged diabetes. Pulmonary TB in people with DM has particular characteristics, so if it is not diagnosed and treated, it is di cult to understand the effects of TB drugs and oral antidiabetic drugs [5][6][7]. The aim of this study was to compare the length of treatment for drug-resistant pulmonary TB in the presence vs. the absence of type 2 DM.…”