Undang-Undang No.11/2012 tidak menjamin kepastian hukum dalam mencapai tujuan diversi perkara ABH/AKH. Meskipun diversi wajib, ganti rugi tidak diwajibkan, dan UU tersebut tidak memiliki mekanisme eksekusi ganti rugi atau sanksi bagi pelaku yang tidak memenuhi janji ganti rugi kepada korban. Ini menyulitkan penagihan dan kompleksitas ketika korban atau keluarganya menagih ganti rugi kepada penyidik. Penelitian ini menyoroti pengaturan ganti rugi dalam penyelesaian perkara ABH/AKH secara diversi, konsekuensi hukum penyelesaian ganti rugi, dan solusi penyelesaian janji membayar ganti rugi yang tidak ditepati oleh pelaku/keluarganya kepada korban. Penelitian bersifat normatif, deskriptif, dan preskripsi, dengan menggunakan sumber data sekunder yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan mengenai ganti rugi dalam diversi perkara ABH/AKH mengacu pada Pasal 5, Pasal 7 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), dan Pasal 42 ayat (1) UU No.11/2012, namun restitusi bukan opsi mutlak, melainkan alternatif. Ini menyebabkan ketidakpastian bagi korban maupun keluarganya. Solusi penyelesaian ganti rugi perkara ABH/AKH yang tidak dibayar adalah dengan memanggil pelaku/keluarganya oleh penyidik untuk membuat perjanjian baru, dimonitor, dan dilindungi secara hukum, dengan ancaman lanjutan perkara pidana jika tidak membayar. Diperlukan peraturan tambahan seperti PP atau Perkapolri tentang pelaksanaan ganti rugi diversi, atau minimal SOP penyidik. Penyidik perlu aktif dalam menentukan isi perjanjian, dengan jaminan yuridis bagi pelaku/keluarganya yang tidak memenuhi janji pembayaran ganti rugi kepada korban/keluarganya. SOP penyidik di Polresta Medan perlu mengatur tata cara menagih janji pelaku kepada korban, termasuk standar permohonan restitusi diversi, restitusi yang tidak dibayar, dan konsekuensi hukum jika pelaku ingkar janji.