Wanprestasi merupakan salah satu problem yang dihadapi para pihak dalam sebuah penjanjian. Para pihak dapat menyelesaikan wanprestasi melalui berbagai cara seperti musyawarah, mediasi, arbitrase, maupun pengadilan. Jalur pengadilan sering dianggap hanya mengutamakan nilai kepastikan hukum dan mengesampingkan nilai keadilan dan kemanfaatan. Namun hal ini tidak terjadi dalam penanganan kasus PT. DSF melawan AH di Pengadilan Negeri Lumajang. Artikel ini bertujuan mendiskripsikan kewenangan Pengadilan Negeri Lumajang dalam memutus perkara Nomor 5/Ptd.Sus-BPSK/2017/PN.Lmj. Selain itu, dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara Nomor 5/Ptd.Sus-BPSK/2017/PN.Lmj. Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normative dengan pendekatan kasus (case approach). Bahan hukum penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Metode pengumpulan bahan hukum dengan inventarisasi berupa putusan No. 5/Ptd.Sus-BPSK/2017/PN.Lmj dan bahan hukum kepustakaan. Metode pengolahan bahan hukum menggunakan analysis interactive dengan membagi dalam tiga tahap yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan verifikasi kesimpulan (conclutions). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pengadilan Negeri Lumajang tidak mempunyai kewenangan atau kompetensi relatif dalam mengadili perkara No. 5/Ptd.Sus-BPSK/2017/PN.Lmj. Majelis Hakim dalam pertimbanggana lebih mengutamakan asas keadilan daripada asas kepastian hukum sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian lease (sewa guna usaha).