“…Menurut Sarwono (2010), seseorang yang mempunyai harga diri yang tinggi atau biasa disebut dengan harga diri positif cenderung merasa nyaman dengan dirinya sendiri, dapat mengatasi kecemasan, dan mampu menangani penolakan sosial dari lingkungannya. Sedangkan menurut Burns (Prawesti & Dewi, 2016), seseorang dengan harga diri rendah cenderung kesulitan untuk mengekspresikan diri dan menunjukkan pikiran dan perasaannya, yang disebabkan oleh rasa takut tehadap penilaian negatif yang dilakukan oleh diri sendiri dan orang lain yang ada di sekitarnya. Coopersmith (1967) memaparkan bahwa harga diri mempunyai empat aspek, yaitu: (1) power (kekuasaan), yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengontrol dan mempengaruhi diri sendiri dan orang lain; individu yang memiliki power biasanya menunjukkan sikap asertif, (2) virtue (ketaatan), yang merupakan ketaatan pada nilai moral, etika, atau aturan-aturan yang ada di dalam masyarakat; individu yang mentaati nilai atau aturan-aturan yang ada pada masyarakat memiliki perasaan bangga terhadap dirinya dan merasa berharga karena meyakini bahwa taat pada aturan adalah hal yang diinginkan masyarakat, sehingga orang-orang akan menghargai individu tersebut dan menjadikannya sebagai teladan, (3) significance (keberartian), yang dapat diartikan sebagai keberartian individu di dalam lingkungannya; individu yang mendapatkan penghargaan, penerimaan, perhatian, dan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya, seperti keluarga, sahabat, dan masyarakat akan merasa lebih berarti, dan (4) competence (kompeten), yang merupakan suatu kemampuan untuk menggapai cita-cita atau mimpi yang diharapkan; individu yang mempunyai kemampuan yang memadai akan merasa percaya diri dan yakin untuk menggapai cita-citanya dan mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi.…”