ABSTRAKPengadilan agama adalah lembaga peradilan yang dibentuk negara khusus untuk urusan keperdataan orang Islam di Indonesia. Dalam praktik, ditemukan putusan-putusan yang menunjukkan kepedulian dan keberpihakan hakim agama kepada orang-orang non-Muslim walaupun tidak mencantumkan kata toleransi dalam putusannya. Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan menganalisis nilai-nilai toleransi beragama melalui penerapan maqasid al-syari’ah dalam putusan hakim pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama tentang wasiat wajibah. Sumber data untuk tulisan ini adalah Putusan Nomor 263/P.dt.G/2007/PTA.Sby dan Nomor 21/P.dt.G/2016/PTA.Mks. Kedua putusan tersebut dianalisis menurut teknik analisis isi. Langkah-langkah yang dilakukan yaitu mengumpulkan, memilah data, menampilkannya dalam naskah dan menarik kesimpulan. Hasil kajian menunjukkan bahwa hakim-hakim pengadilan agama memperlihatkan toleransi beragama yang tinggi terhadap orang-orang non-Muslim. Mereka memutuskan untuk memberikan hak harta terhadap orang-orang non-Muslim walaupun, menurut ketentuan syariat, tidak berhak mendapatkan harta tersebut. Akan tetapi, kata toleransi tidak tercantum dalam putusan tersebut. Para hakim mempertimbangkan perihal toleransi ini berdasarkan unsur-unsur maslahah atau keharusan memelihara lima aspek syariat yaitu: memelihara agama (hifz al-din), memelihara jiwa (hifz al-nafs), memelihara akal (hifz al-‘aql), memelihara keturunan (hifz al-nasl), dan memelihara harta (hifz al-mal). Keharusan memelihara lima aspek penting tersebut dalam putusan-putusan hakim berkaitan erat dengan kepentingan non-Muslim yang tidak bisa diabaikan dari sudut pandang syariat Islam. Kata kunci: islam; maqasid al-syari’ah; non-muslim; toleransi; wasiat wajibah. ABSTRACT The religious court is a judicial institution established by the state specifically for the civil affairs of Muslims in Indonesia. In practice, there are decisions that show the concern of religious judges for non-Muslims, even though the word “tolerance” is not stated explicitly. This paper aims to explore and analyze the values of religious tolerance through the application of maqasid al-shari’ah in the decisions of religious court judges and religious high courts regarding obligatory will. The data source for this article is Decision Numbers 263/P.dt.G/2007/PTA.Sby and 21/P. dt.G/2016/PTA.Mks. The two decisions were analyzed according to content analysis techniques. The actions taken were collecting, sorting data, displaying it in the script, and drawing conclusions. The results of the study show that religious court judges display high religious tolerance towards non-Muslims. They decided to give property rights to non-Muslims even though, according to the provisions of the shari’a, they are not entitled to those assets. However, the word “tolerance” is not included in the decision. The judges consider this matter of tolerance according to the elements of maslahah, or the obligation to maintain five aspects of the shari’a, namely: maintaining religion (hifz al-din), protecting the soul (hifz al-nafs), preserving the mind (hifz al-’aql), preserving offspring (hifz al-nasl), and maintaining property (hifz al-mal). The obligation to maintain these five important aspects in judges’ decisions is closely related to non-Muslim interests, which cannot be ignored from the perspective of Islamic law. Keywords: islam; maqasid al-shari’ah; non-muslims; tolerance; obligatory will.