Marriage as part of human rights, especially the right to have a family related to aspects of religion, culture, and state legal policies. Indonesia as a constitutional state provides strict marriage arrangements in the Marriage Law. Even so, there is a phenomenon in society related to the existence of interfaith marriages, especially between adherents of Islam and Catholicism. Today the Surabaya District Court determines the continuity of interfaith marriages through Decree No. 916/Pdt.P/2022/PN.Sby. This research is a normative legal research using statutory, conceptual and case approaches. The results of this study confirm that the application of court decisions, especially the jurisprudence of the Supreme Court in interfaith marriages, must be viewed in a casuistic way and not be the same for everyone (erga omnes). This also emphasizes that marriage is always related to aspects and laws of each religion and beliefs held by each. Thus, in cases of interfaith marriages, it is necessary to pay attention to the provisions of Islamic Law and Canon Law or the Church regarding the implementation of interfaith marriages between Muslims and Catholics.Keywords: Interfaith; Marriage; Human Rights.
AbstrakPerkawinan sebagai bagian dari hak asasi manusia khususnya hak berkeluarga yang berkaitan dengan aspek keagamaan, kebudayaan, serta kebijakan hukum negara. Indonesia sebagai negara hukum memberikan pengaturan perkawinan secara tegas dalam UU Perkawinan. Meski begitu, terdapat fenomena di masyarakat terkait adanya perkawinan beda agama khususnya antara penganut Agama Islam dengan Agama Katolik. Dewasa ini Pengadilan Negeri Surabaya menetapkan keberlangsungan perkawinan beda agama melalui Penetapan No. 916/Pdt.P/2022/PN.Sby. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konseptual, serta pendekatan kasus. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa penerapan putusan pengadilan khususnya yurisprudensi Mahkamah Agung dalam perkawinan beda agama harus dilihat secara kasuistis serta tidak bersifat sama untuk semua orang (erga omnes). Hal ini juga mempertegas bahwa perkawinan selalu berkaitan dengan aspek serta hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing. Dengan demikian, dalam kasus perkawinan beda agama perlu memperhatikan ketentuan Hukum Islam dan Hukum Kanonik atau Gereja terkait pelaksanaan perkawinan beda agama antara Islam dan Katolik. Kata Kunci: Beda Agama; Hak Asasi Manusia; Perkawinan.