Kajian Hadhrami di Indonesia telah berkembang pesat, namun sangat jarang menyentuh sisi perempuan, terlebih pada irisan dengan para jemaah perempuan. Artikel ini berfokus bagaimana penggunaan media sosial sebagai medium antara pendakwah dan jemaah yang sama-sama perempuan dari dua etnisitas yang berbeda, yakni Hadhrami dan Banjar. Adapun pertanyaan utama artikel ini adalah bagaimana media sosial menjadi medium persilangan budaya, irisan ajaran, hingga wadah berkomunikasi kelompok perempuan dari dua etnisitas yang berbeda? Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, data artikel ini diperoleh dari mengkaji konten media sosial dan mewawancarai beberapa pendakwah perempuan asal atau pernah bersekolah di Hadhrami, yang menjadi pendakwah di beberapa majelis taklim di wilayah Banjarmasin. Artikel ini mendapati media sosial adalah medium yang paling populer di majelis-majelis taklim perempuan. Selain itu, konten-konten di akun-akun majelis taklim tersebut diresepsi, direproduksi, hingga disebarluaskan kembali oleh para jemaah perempuan tanpa kontrol atau filter sama sekali. Hal ini disebabkan posisi pendakwah perempuan Hadhrami atau yang pernah bersekolah di Hadhramaut tersebut dianggap valid dan memiliki sanad bersambung hingga Nabi Muhammad Saw. Sehingga, seluruh konten biasanya tidak lagi dipertanyakan dan menjadi bagian dari keberagamaan dan tradisi keislaman lokal.