The goal of education is to foster all students’ intellectual, social, and personal potential to their highest level by providing them with an equitable and equal education irrespective of their characteristics (e.g., ethnicity, social class, language use, religion, and other human differences). Different students and communities should not be excluded in terms of curriculum. At the micro-level classroom, student engagement is central. Teachers should go beyond the prescribed curriculum by working with their students and by including their voices. However, how can students be successful academically and socially if the school curriculum is anchored in the mainstream curriculum, primarily promoting the dominant groups? For example, given that the books, curriculum, and standardised testing are centralised in Indonesia, the content is, of course, generalised for all students. Teachers and schools throughout the country should use the same materials for all students. However, for the disadvantaged children coming from poor, rural, and remote areas, such policies lead them to trouble. They learn the books and materials that are similar to those that the affluent schools and students use in cities, but their values and perspectives are excluded. Also, how can students who are racially, culturally, and linguistically marginalised and low-income families succeed if the curriculum is organised exclusively to maintain the current social structure? The purpose of this paper is to explore the need to move from an exclusive to inclusive curriculum in Indonesia so that all students can succeed academically and socially. The orienting questions for this study are: (1) What do we mean by an exclusive and inclusive curriculum? (2) What are the components of an inclusive curriculum? (3) What should be reformed to create an inclusive curriculum? (4) What kind of leadership is required to guide the reform from an exclusive to an inclusive curriculum?
AbstrakSalah satu permasalahan berbangsa yang mendasar akhir-akhir ini adalah kecenderungan terjadinya degradasi atau pergeseran moralitas sosial yang melibatkan anak-anak usia sekolah, usia remaja dan mahasiswa/ pemuda. Tidak jarang mereka disinyalir terlibat dalam beragam bentuk perilaku sosial yang menyimpang (social deviance), seperti: tindakan kriminal, narkoba, minuman keras, begal, free-sex, rendahnya sopan-santun dan rasa hormat antarsesama, kebut-kebutan di jalan raya, melanggar rambu-rambu lalu lintas, tawuran, yang sekaligus bertanda buruknya moralitas sosial di kalangan generasi muda. Pendidikan karakter (akhlak) melalui optimalisasi peranan pendidikan agama diharapkan sebagai salah satu upaya reduksi dan preventif terhadap perilaku demoralisasi sosial yang sedang melanda generasi muda (pelajar, remaja dan mahasiswa/pemuda) yang diharapkan dapat meneruskan estafet kepemimpinan masa depan. Kata Kunci: Moralitas Sosial, Peranan Pendidikan AgamaPendidikan selalu diharapkan menjadi solusi strategi terhadap berbagai persoalan masa depan anak-anak, masa depan masyarakat, dan masa depan bangsa, sebagai ikhtiar memperbaiki harkat dan martabat kehidupan. Daniel U Levine & Robert J. Havighurst (1989, hal. 229) mengatakan:The school seeks to help young people from lower-status families rise on the social scale, and the extent to which society is meritocratic depends partly on how effective educational system is in this short. Thus, the social
Penelitian ini mengenai Analisis Relasi Kuasa Michel Foucault studi kasus fenomena kekerasan seksual di peguruan tinggi. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif dengan desain kepustakaan (library research), menggunakan berbagai sumber kepustakaan sebagai sumber data penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa adanya relasi kuasa yang tidak seimbang (dosen – mahasiswa) sangat rentan menjadi peluang penyebab terjadinya kekerasan seksual, di mana setelah kejadian tersebut umumnya penyintas cenderung tidak mau melaporkan atau memproses secara lebih lanjut terhadap peristiwa yang dialaminya. fenomena kekerasan seksual yang ada di ruang lingkup pendidikan pelaku merupakan pihak yang secara penuh memiliki kuasa dalam suatu hubungan (dosen – mahasiswa) sehingga ketika ada relasi maka di sana ada kekuasaan, ketika kekuasaan itu disalahgunakan demi hasrat maka selama itu pula kekerasan dalam ruang lingkup pendidikan tinggi akan muncul kasus-kasus yang serupa. Michel Foucault menjelaskan bahwa adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan penyintas menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual. Dari empat diskursus yang dikemukakan oleh Michel Foucault jelas bahwa ketika diskursus kekuasan (politik) dan hasrat (seksualitas) telah berelaborasi menjadi satu kesatuan maka akan memberikan jalan kehancuran dalam dunia pendidikan. Upaya serius harus dilakukan tidak hanya sebatas tindakan kuratif atau penanganan terhadap korban kekerasan seksual, namun harus dimulai dari upaya preventif (pencegahan), Rektor sebagai pimpinan tertinggi dalam sebuah perguruan tinggi perlu membuat regulasi yang tegas kepada siapapun oknum pelaku kekerasan seksual. Penguatan terhadap aspek regulasi dianggap penting untuk penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual. Secara yuridis normatif, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah kekerasan seksual selama ini hanya masih bersifat parsial. Oleh karena itu sudah saatnya ada undang-undang yang secara komprehensif khusus mengatur mengenai penghapusan kekerasan seksual.
Antara Pendidikan dan perkembangan masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan yang lebih erat dalam mencapai tujuan sekolah atau Pendidikan dengan efektif dan efesien. Sekolah juga harus menunjang proses pencapaian tujuan atau pemenuhan kebutuhan masyarakat, khususnya kebutuhan Pendidikan. Anatara sekolah dan masyarakat perlu dibina dan dikembangkan suatu hubungan yang harmonis. Pada dasarnya setiap sekolah mendidik anak agar menjadi anggota masyarakat yang berguna, namun pada kenyataanya Pendidikan di sekolah sering kurang relavan dengan kehidupan masyarakat. Kurikulum banyak hanya berpusat pada bidang studi yang tersusun secara logis dan sistematis yang tidak nyata hubungannya dengan kehidupan sehari-hari anak didik. Selanjutnya apa yang terjadi apa yang di pelajari anak didik tampaknya hanya memenuhi kepentingan sekolah untuk ujian, bukan untuk membantu totalitas anak didik agar hidup lebih efekif dalam masyarakat.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.