The background of the problem in this study is the occurrence of changes in the current generation due to mass media that change the mindsets, behavior, and habits of today's youth, accompanied by education that tends to be based on knowledge or cognitive. All of this will result in humans not being human. Thus, character education offered by Jesus in a happy speech at the Sermon on the Mount is character-based education centered on the imitation of Christ, which is to follow in the footsteps or steps of Christ in the lives of Indonesian Christian students. This framework of thought or world view is what Christian Character education is. Thus, this research will use an asynchronous method that is to exegete what is said in the text of Matthew 5:6-12. Abstrak Latar belakang dari masalah dalam penelitian ini adalah terjadinya perubahan pada generasi saat ini karena media massa yang mengubah pola pikir, perilaku, dan kebiasaan pemuda saat ini, disertai dengan pendidikan yang cenderung didasarkan pada pengetahuan atau kognitif. Semua ini akan meng-akibatkan manusia tidak manusia. Dengan demikian, pendidikan karakter yang diajarkan Yesus melalui khotbah ucapan bahagia di bukit merupakan pengajaran berbasis karakter yang berpusat pada meniru Kristus, yang mengikuti jejak atau langkah Kristus dalam kehidupan siswa Kristen Indonesia. Kerangka pemikiran atau pandangan dunia ini adalah apa yang pendidikan karakter Kristen. Dengan demikian, penelitian ini akan menggunakan metode asynchronous yaitu untuk penafsir apa yang dikatakan dalam teks Matius 5:6-12.
Masalah dalam tulisan ini adalah apakah yang menjadi teologi kitab Deuteonomi? Karena, ada pandangan yang menyatakan bahwa kitab Perjanjian Lama hanya berisi hukum legalis. Maka, tujuan artikel ini adalah menjelaskan ideologi, maupun teologi kitab Deuteronomi. Metode yang digunakan adalah metode historis kritis untuk mengungkapkan teologi kitab Deuteronomi. Kesimpulannya adalah bahwa teologi kitab Deteronomi adalah memerjuangkan kemanusiaan dan keadilan.
Glossolalia is currently a relevant topic. There is much controversy and debate about the practice of speaking in tongues. This paper will conduct a comparative analysis of tongues in 1 Corinthians and Acts. The practice referred to is specifically whether the Bible allows simultaneous speaking in tongues based on both books. Also regarding the speaking in tongues, whether it must be understood by others or is it necessary for someone to interpret it. This situation also occurs in the current context. Believers in some churches when in a worship (singing or praying) together speaking in tongues and without interpretation. The author finds that there are significant differences regarding the practice of speaking in tongues as instructed by Paul in 1 Corinthians and the story of speaking in tongues as written by Luke in Acts. In fact, there is an interpretive vacuum that contemporary interpreters must fill. The author uses a comparative method and a grammatical-historical hermeneutic approach to the biblical text.
The strong ties of kinship that are built provide clues to the social processes that occur in the early Israeli society. This includes education as a social process. The Israelites want children, especially boys, this is intended to perpetuate family lines and wealth, and to preserve ancestral heritage. Since the name defines or indicates the existence or essence means expressing the character and purpose carried. The name expresses hope. Boys are growing up to adulthood, so they are entrusted to their father. One of the most sacred duties of a father is to teach his children about the teachings of true religion.AbstrakKuatnya ikatan kekerabatan yang dibangun memberikan petunjuk pada proses sosial yang terjadi dalam masyarakat Israel. Termasuk di dalamnya pendidikan sebagai salah satu proses sosial. Bangsa Israel menginginkan anak terutama anak laki-laki, ini dimaksudkan untuk mengabadikan garis ke-luarga, dan untuk melestarikan warisan leluhur. Nama mendefinisikan atau menunjukkan keberadaan atau esensinya; nama mengungkapkan karakter dan tujuan yang diusung; nama mengekspresikan harapan. Anak laki-laki da-lam masa pertumbuhan untuk dewasa, dipercayakan kepada ayahnya. Salah satu tugas yang paling sakral dari seorang ayah adalah mengajar anaknya ten-tang ajaran agama yang benar.
Banyak orang Kristen memiliki konsep maupun tindakan yang salah mengenai keselamatan atau soteria. Soteria yang mereka miliki dan cari hanyalah bersifat antroposentris, yang mementingkan diri sendiri atau berpusat kepada dirinya sendiri. Kecenderungannya adalah egois, yang mementingkan diri, pragmatis dan untuk kemuliaannya sendiri. Allah hanyalah sebagai pelengkap atau objek di dalam kehidupannya, yang mana Ia mencukupi dan memenuhi segala yang diingikannya melalui soteria atau keselamatan yang telah diberikan-Nya. Soteria antroposentris ini bertentangan atau kontradiksi dengan soteria yang Allah inginkan, yaitu soteria untuk melakukan dan melaksanakan missio Dei atau misi Allah, semuanya adalah kemuliaan Allah atau soli deo glori. Dengan demikian, tulisan ini ingin merespons soteria antroposentris melalui kekristenan Injili menurut perspektif Reformed[1] untuk memurnikan ajaran yang terdapat di dalam Gereja. [1]Anthony A. Hoekema, Diselamatkan oleh Anugerah (Surabaya: Momentum, 2001) 14.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.