Fenomena anak jalanan merupakan salah satu permasalahan krusial yang menyertai proses pembangunan. Dinamika kehidupan anak jalanan yang identik dengan budaya kemiskinan, dianggap menyimpang dari fungsi sosial anak karena berbagai aktivitas yang dilakukan di jalanan. Selama 9 tahun terakhir, Kementerian Sosial telah mengimplementasikan kebijakan, strategi dan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) yang bertujuan untuk memberdayakan dan memenuhi kebutuhan anak yang hidup di jalanan, namun demikian upaya tersebut dipandang belum berjalan secara optimal. Gaung �Gerakan Sosial Menuju Indonesia Bebas Anak Jalanan� sebagai bagian dari PKSA masih �asing� terdengar, meski data statistik menunjukkan penurunan jumlah anak jalanan realitanya masih banyak anak jalanan yang melakukan berbagai aktivitas di sudut-sudut kota seperti di traffict light, stasiun-stasiun, terminal dan di sekitar pusat-pusat perbelanjaan. Hal ini membuktikan bahwa program-program perlindungan dan pelayanan anak jalanan belum berjalan secara efektif dan belum terintegrasi dengan baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana manifestasi PKSA dalam mewujudkan kesejahteraan sosial anak jalanan di Rumah Singgah Anak Mandiri (RSAM) Yogyakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan deskriptif analisis. Setelah data terkumpul maka teknik analisis data dilakukan dengan tahapan seleksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Agar hasil penelitian dapat dipercaya maka dilakukan triangulasi guna menguji keabsahan data penelitian. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan PKSA di RSAM Yogyakarta memiliki dampak yang positif bagi anak jalanan. Hal ini dapat dilihat dari tercapainya kebutuhan dasar anak jalanan yang menjadi binaan, tercapainya pendidikan dasar anak jalanan karena sebagian besar anak jalanan bisa kembali bersekolah, dan berkurangnya waktu anak berada di jalanan.
Kata kunci: PKSA, Kesejahteraan Sosial, Anak Jalanan, RSAM.
This article examines the integration of the sister village program in the emergency response to the Mount Merapi disaster during the COVID-19 pandemic using the analysis of the AGIL functions- Adaptation (A), Goal attainment (G), Integration (I), and Latency (L). This study uses a descriptive narrative method. Primary and secondary data were collected through interviews, observations, documentation and FGDs in order to support and strengthen the results. The study findings show that according to the functionalism perspective, the condition of Nggargomulyo Village and Tamanagung Village people which are bound by the MoU sister village still has not shown harmonization. The community involvement of Tamanagung Village actively in the management of the evacuation is relatively low. Whereas community involvement in the sister village program is the basic principle of achieving the goals of this village fraternity cooperation. This condition resulted in the people of Ngargomulyo Village finding its difficult to adapt to the new refugee situation during the COVID-19 pandemic. This affects the program integration process and the functioning of the system, both internally and externally, because the program has not yet been institutionalized within the community. For this reason, it is necessary to refresh the role and function of the sister village as the main instrument in overseeing the disaster management system in Magelang Regency related to being integrative and sustainable.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.