This article appeared in a journal published by Elsevier. The attached copy is furnished to the author for internal non-commercial research and education use, including for instruction at the author's institution and sharing with colleagues.Other uses, including reproduction and distribution, or selling or licensing copies, or posting to personal, institutional or third party websites are prohibited. b s t r a c tBackground: The burgeoning health burden in Indonesia requires strengthening primary care services through interprofessional collaboration. Purpose: to explore factors contributing to interprofessional collaboration within health centres Indonesia. Methods: Eight focus group discussions involving a range of health professionals from health centres were conducted in four districts in East Java, Indonesia. Thematic analysis was used to generate findings. Results: Collaborative practices in Indonesian health centres are directly affected by health professional interactions (personnel level) e hierarchy and lack of role understanding have been reported as barriers to the interactions. These factors are in turn affected by health centre's environment (organisational level) and the Government legislation/policy (health system). The health centre's environment included organisation's culture, team management, physical space, as well as communication and coordination mechanisms. Conclusions: Factors contributing to collaborative practices in this setting were complex and intertwined. Structuring collective actions or strategies would be required to address the identified collaborative issues.
Kasus pneumonia yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang disebut coronavirus diseases 2019 (COVID-19) oleh World Health Organization (WHO) merupakan sebuah tragedi dalam dunia kesehatan secara global. Tata laksana yang tepat dan cepat diharapkan dapat menyelamatkan nyawa pasien. Sampai tulisan ini dibuat, belum terdapat satu jenis obat yang secara resmi diizinkan penggunaannya untuk terapi COVID-19. Kajian literatur ini bertujuan untuk 1) memaparkan tata laksana pengobatan dan 2) mendaftar serta menjelaskan alternatif obat yang dapat digunakan untuk SARS-CoV-2. Proses penelusuran artikel dalam kajian pustaka ini dilakukan pada sebuah database, yakni PubMed dengan kombinasi kata kunci (("corona virus") OR ("covid-19") OR ("SARS-CoV-2")) AND (("treatment") OR ("therapy")). Hasil kajian ini menunjukkan bahwa tata laksana pasien dengan COVID-19 dapat berbeda antar-setting dan negara dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya, khususnya obat. Pedoman terapi WHO dan pedoman di Indonesia saat ini merekomendasikan supportive therapy untuk penanganan COVID-19, antara lain: terapi untuk gejala yang terjadi, pemberian oksigen, penggunaan antibiotik, terapi cairan, penggunaan vasopresor, dan tindakan medis (termasuk pemasangan ventilator) untuk menyelamatkan nyawa pasien. Belum terdapat obat khusus yang direkomendasikan untuk menekan replikasi SARS-CoV-2. Beberapa jenis obat yang potensial bermanfaat untuk SARS-CoV-2 antara lain: klorokuin atau hidroksiklorokuin, arbidol, ribavirin, favipiravir, lopinavir/ritonavir, remdesivir, oseltamivir, dan interferon. Namun sampai dengan tulisan ini dibuat, terdapat keterbatasan bukti penelitian dengan desain yang baik yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan terkait superioritas suatu jenis obat tertentu dibandingkan dengan alternatif yang lain. Dalam kondisi menunggu hasil penelitian dengan desain penelitian yang baik, penggunaan obat yang memiliki bukti efektivitas (walaupun belum baik) atau diduga efektif, perlu dioptimalkan untuk menyelamatkan nyawa pasien, khususnya mereka yang dalam kondisi parah.
Community-based training provides a potential strategy to improve community knowledge of medications. Findings from this study should inform strategies for a broader uptake amongst local communities in Indonesia.
Perilaku dan faktor dominan penyebab penggunaan antibiotik tanpa resep di Surabaya belum diketahui secara pasti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifkasi perilaku dan faktor yang paling mempengaruhi penggunaan antibiotik tanpa resep. Penelitian dengan desain potong lintang dilakukan pada masyarakat yang membeli antibiotik tanpa resep dokter di 90 apotek di Surabaya selama bulan Desember 2014-April 2015. Identifikasi perilaku dilakukan melalui 8 pertanyaan majemuk, dan identifikasi faktor dilakukan melalui dua metode statistik, yakni analisis deskriptif melalui perbandingan mean pertanyaan dalam masing-masing tema faktor, dan analisis faktor menggunakan orthogonal rotation (varimax). Total 267 responden terlibat dalam penelitian. Mayoritas masyarakat yang membeli antibiotik tanpa resep dokter berusia 21-30 tahun (36,33%), membeli dengan frekuensi 1 kali/bulan (45,70%), membeli untuk diri sendiri (56,55%), membeli segera setelah gejala muncul (33,70%), pembeli untuk indikasi pilek/flu (21,30%). Berdasarkan hasil uji statistik deskriptif ditemukan bahwa tema “halhal yang mendorong” merupakan faktor yang mempengaruhi penggunaan antibiotik tanpa resep di apotek. Pada metode analisis faktor, nilai cumulative percent total variance xplained adalah sebesar 48,03%, dengan nilai terbesar pada faktor pertama yakni sebesar 23,91%. Faktor paling mempengaruhi penggunaan antibiotik tanpa resep adalah kemudahan akses memperoleh antibiotik dan penghematan biaya. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menentukan metode intervensi yang tepat untuk menanggulangi permasalahan penggunaan antibiotik tanpa resep di apotek. Dengan mempertimbangkan kompleksitas faktor penyebab perilaku tersebut, apoteker tidak seharusnya dituduh sebagai satu-satunya pihak penyebab penggunaan antibiotik tanpa resep.
Socioeconomic impacts on adherence are understudied, particularly in disadvantaged areas. This study aimed to evaluate socioeconomic factors on medication adherence among patients with hypertension in Lombok, Indonesia. A cross-sectional survey was conducted in all six public hospital outpatient clinics in Lombok in 2017. Data was obtained using a validated questionnaire to which the Morisky Green Levine Adherence Scale (MGLS) questionnaire was used to assess medication adherence. Binary logistic regression was performed to determine independent socioeconomic associations. A total of 693 patients with hypertension were included (response rate 84%). The majority had low adherence (76.2%). Significant independent associations were reported between setting and education with adherence (rural versus urban setting: odds ratio 3.54, p<0.001; primary versus university level education: odds ratio 5.39, p<0.001). Socioeconomic associations provide some basis for the development of patient and population-based interventions to improve adherence among patients with hypertension in Indonesia, particularly in disadvantaged areas.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.