ABSTRAKLingkungan fisik mempunyai peran penting dalam masa tumbuh kembang anak terutama pada masa golden age (0 -6 tahun) karena paling sering ditangkap langsung oleh panca indera anak. Selain lingkungan rumah, lingkungan fisik yang memilliki intensitas interaksi yang tinggi dengan anak adalah lingkungan sekolah, sebagai contoh adalah taman kanak-kanak (TK). Oleh karena itu, lingkungan TK harus menyediakan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembang dan karakteristik anak. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi kriteria lingkungan ramah anak pada sekolah TK. Metode yang digunakan adalah metode komparasi literatur mengenai kriteria ramah anak pada sekolah TK. Dari penelitian ini diketahui bahwa kriteria lingkungan ramah anak pada sekolah TK meliputi tiga faktor, yaitu keamanan, kenyamanan, dan stimulasi pada elemen ruang luar dan ruang dalam sebuah TK. Penerapan faktor-faktor tersebut pada desain sekolah TK meliputi elemen ruang luar dan ruang dalam TK.
ABSTRAKStudi ini dimaksudkan untuk menelusuri konfigurasi visual rupa yang membentuk tatasusunan, kegunaan dan makna dalam hubungannya dengan rona, serta gerak dan sifat konfigurasi visual rupa pada karya seni topeng Malangan tersebut. Hasil penelitian ini secara teoritik dapat menjelaskan hubungan antara dimensi visual dan fungsi karya rupa dalam membentuk bahasa tanda dan makna, yang diharapkan dapat digeneralisir untuk karya seni rupa sejenis dan dijadikan dasar metode transformasi desain yang berkarakter lokal. Penelitian ini memadukan pendekatan kualitatif dengan metoda survei. Instrumen utama berupa rekaman foto dan gambar fisik konfigurasi visual rupa topeng. Instrumen pendukung berupa wawancara dengan pelaku, pengrajin, dan seniman topeng Malangan di Dusun Kedungmonggo, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Penelitian ini menggunakan responden yang dipilih secara porposive sampling. Data yang diperoleh dari responden dikompilasi untuk memperoleh gambaran obyekobyek visual rupa yang mewakili dalam lingkup kesenian topeng Malangan. Hasil konfigurasi visual, gerak, ruang, dan musik yang diperoleh dari analisis hubungan diantaranya, selanjutnya diinterpertasi melalui wawancara, dianalisis untuk memperoleh gambaran menyeluruh konfigurasi seni rupa, seni gerak, seni pentas (ruang), seni musik (audio) topeng Malangan sebagai karya budaya lokal. ABSTRACTThis study is intended to explore the visual configuration in such a form governance structure, the usefulness and meaning in conjunction with hue, and motion and visual properties of such a configuration on the Malangan mask. Theoretical results of this study may explain the relationship between visual dimensions and functions of visual arts in shaping the language of signs and meanings, which are expected to be generalized to a kind works of art and design transformation methods form the basis of a local character. This research combines qualitative approaches with a survey method. The main instrument in the form of pictures and recordings of physical configurations such visual mask. Supporting instrument in the form of interviews with actors, craftmen, and artists in Malangan mask at Kedungmonggo, Pakisaji District, Malang Regency. This study uses selected respondents porposive sampling. Data obtained from respondents compiled to obtain an overview of visual objects that represent the scope of the visual arts Malangan mask. Results of visual configuration, motion, space, and music derived from the analysis of the relationship between them, then interpreted through interviews, analyzed to obtain an overall picture configurations art, art movement, art performances (space), music (audio) of Malangan mask as cultural work local.
Evaluasi purna huni (EPH) ruang terbuka kampus bertujuan untuk menilai kenyamanan ruang, baik secara fisik maupun secara persepsi. Ruang terbuka yang menjadi studi kasus adalah lapangan dan gazebo di depan gedung rektorat Universitas Brawijaya (UB). Penelitian ini memadukan pendekatan kualitatif dengan metode survei, dengan instrumen utama rekaman foto, kuisioner, serta wawancara. Responden dipilih secara purposive. Data dari responden diolah untuk memperoleh gambaran perilaku pengguna ruang terbuka. Interpretasi dari hasil EPH dianalisis untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang efisiensi ruang terbuka bagi penggunanya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa gazebo kurang dapat mengakomodasi kenyamanan pengguna ruang terbuka kampus UB pada aspek privasi dan persepsi. Aspek interaksi dapat mengakomodasi kenyamanan pengguna gazebo dengan baik (lebih dari 50%), sedangkan aspek orientasi dinilai cukup dapat mengakomodasi (50%). Ruang terbuka kampus UB berupa lapangan rektorat masih kurang dapat mengakomodasi kenyamanan pengguna ruang terbuka kampus, baik dari aspek privasi, interaksi, persepsi, maupun orientasi, dimana setiap aspek tersebut nilai evaluasinya kurang dari 50%.
ABSTRAKArsitektur rumah tradisional di Kabupaten Sumbawa masih memiliki korelasi antara rancangan tata susunan, tujuan-guna dan makna-arti terhadap masyarakat, lingkungan, dan budayanya yang unik, baik pada strata sosial atas maupun bawah. Identitas lokal dalam sebuah arsitektur yang tumbuh dalam masyarakat memiliki makna tersembunyi baik secara visual maupun non-visual. Sebagai artefak yang cukup kompleks dalam menggambarkan kebudayaan suatu kelompok masyarakat, arsitektur tradisional hadir dengan pesan-pesan tersurat maupun tersirat. Oleh karena itu perlu pendekatan sintaksis, pragmatis dan semantik dalam membaca pesan tersebut. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menggali obyek-obyek arsitektural pada kawasan studi berdasarkan pandangan masyarakat setempat serta pemaknaannya juga mengikuti alur pemahaman setempat yang berkembang di sekitar kawasan studi. Penggambaran serta pengungkapan ciri visual pada elemen arsiektur yang terbentuk menguak makna tanda yang tersembunyi. Penerapan strata dan kodifikasi ciri visual dapat menggambarkan nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat tentang keharmonisan antara manusia dan alam melalui lingkungan binaanya. ABSTRACTThe architecture of traditional houses in Sumbawa Regency still has a correlation between the layout design, the purpose-use and the meanings with the society, environment, and its unique culture, both in the upper and lower social strata. Local identity in an architecture that grows in society has a hidden meaning both visually and non-visually. As artifacts that are quite complex in describing the culture of a community group, traditional architecture comes with explicit or implicit messages. Therefore, it needs a syntactic, pragmatic and semantic approach in reading the message. A qualitative approach is used to explore architectural objects in the study area based on the views of the local community and their meanings also follow the local understanding path that develops around the study area. The visual representation and visual representation of the built-up elements revealed the hidden meaning of the sign. The application of strata and codification of visual traits can reflect the growing cultural values in society about the harmony between man and nature through his built environment.
There is a phenomenon of large sign letters presence in almost all cities in Indonesia at present to mark names of places that are already known by the public, including Malang City. This trend shows that there seems to be a contagion that infects one city to another without apparent reason. This mimetic phenomenon represents bad talkative behavior. Large or monumental letters assembled into one striking word as a sign (signage) of a place. Urban signage should be able to show a structuring role by building a unique identity and sense of place, thus creating an image in the form of the environment. However, the presence of monumental sign letters is no longer unique when all cities are busy to imitate and become stereotypes. How to interpret the large sign phenomenon as urban-talkative on architectural populism in the context of semiotics? This study aims to interpret the phenomenon of urban space typography design through semiotics from the pragmatism paradigm based on the first semiosis process of interpretant pole in Malang City. This research uses pragmatism, deductive and mixed-method methods. The research results indicate that the process of interpretant affirmation from the level of secondness to thirdness occurs in three ways; (1) not linear, (2) cross, and (3) linear. Not linear affirmations indicate the problem of communication between public institutions and citizen as interpretant. Cross affirmations indicate that interpretants tend (1) to look at accompanying elements of typography rather than the typography itself and (2) encourage typography as a city identity. Whereas linear affirmations indicate that (1) the presence of urban typography is a talkative behavior and becomes a problem of urban psychology and (2) interpretants tend to look urban typography in terms of subfunctions or content rather than the design of the typography itself.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.