At the beginning of its development, Semarang Batik motifs did not reflect the special character of batik that developed in other regions. At that time, Semarang Batik tended to show coastal motifs and many were influenced by the Dutch and Chinese.This article highlights the development of Semarang Batik which helped shape the identity of the city of Semarang, moreover with the acknowledgement of UNESCO in 2006 which also had an impact on the development of batik motifs in each region, including Semarang. The contemporer Semarang Batik motifs are in the form of city and cultural icons, such as Tugu Muda, Blenduk Church, Marabunta Building, Blekok Srondol, Wewe Gombel, Warak Ngendok, and even food motifs such as Lumpia, Tahu Gimbal, and so on. Historical method was used in this study, includingheuristics (source collection), criticism, interpretation, and writing facts. The results of this study can be concluded that, the present Semarang batik motif developing metamorphosis from traditional motifs to contemporary ones with more varied innovations.
Artikel ini berisi pembahasan tentang sejarah pembentukan Kota Lama Semarang dan pembangunannya sebagai salah satu asset pariwisata budaya Kota Semarang. Kota Lama berdiri pada akhir abad ke-17, setelah terjadi perjanjian antara Kerajaan Mataram di bawah kekuasaan Amangkurat II, dan Vereeniging van Oost-Indische Compagnië (VOC) pada tahun 1678, yang memberikan hak kepada VOC untuk menguasai wilayah Pantai Utara-Timur Jawa, jika VOC dapat mengalahkan perlawananan Trunajaya dari Madura terhadap Mataram. VOC berhasil untuk mengalahkan Trunajaya dan kompeni dagang ini memilih area di dekat pusat kabupaten Semarang dan Kali Semarang sebagai tempat permukimannya agar dapat mengawasi secara mudah pemerintahan Jawa dan aktivitas perdagangan di Laut Jawa. Dalam perkembangannya, koloni VOC ini menjadi kota yang dikelilingi benteng, tempat para pimpinan, para pegawai, serta serdadu VOC bermukim. Di dalam kawasan benteng ini tumbuh dan berkembang fasilitas kota seperti: balai kota, pertokoan, jalan-jalan, barak militer, dan perumahan. Pada sekitar dekade ke-3 abad ke-19, benteng VOC ini diruntuhkan, karena terjadi perluasan area permukiman ini. Sekarang, kota benteng yang dibangun oleh VOC ini disebut Kota Lama atau “De Oude Stad”, dan Pemerintah Kota Semarang berusaha untuk melindungi dan mengembangkan kota ini sebagai asset pariwisata budaya, karena posisinya yang unik dan menarik sebagai suatu warisan budaya dan atraksi pariwisata.
Artikel ini berisi pembahasan tentang hubungan antara Pers Indonesia dan peraturan-peraturan tentang pers sejak masa Kolonial Belanda sampai dengan Masa Revolusi Indonesia. Dalam rentang masa tersebut, pemerintah kolonial Belanda, Pemerintah Militer Jepang, dan Pemerintah Indonesia tetap memberlakukan undang-undang yang bersifat suppressive. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun hidup dalam suasana suppressive, Pers Indonesia selalu berani untuk melaksanakan fungsi tanggungjawab sosial demi mencapai kehidupan yang lebih baik dan kebebasan bagi bangsa dan Negara Indonesia.
At the beginning of its growth, Kampung Batik developed rapidly as a center of batik production and as a residence for residents of Semarang and its surroundings. Kampung Batik then became a very crowded, slum village and became a hotbed of crime). The Kampung Batik in 2016 was designated as a Thematic Village by the Mayor of Semarang. This has aroused public awareness to improve the village, both physically and socially. Changes in Kampung Batik from slum villages to clean and beautiful villages deserve to be studied because of the large role of the community in managing the village environment. The problem examined in this article is how community management in Kampung Batik is carried out so that it can transform slums into beautiful villages. Because the study of this article discusses the process of change and development of Kampung Batik, the method used is the historical method, the stages of which are heuristics (source collection), criticism, interpretation, and writing facts). The conclusion is that the Semarang City Government program to create a Thematic Village has a positive value. Kampung Batik, which has been arranged, has become one of the tourist destinations in Semarang.
Workers Nationalism Versus Colonialism: A Study on Workers Movement in Semarang inThe Beginning of the 20 th Centuries]. The state and the workers have close relationship, because the state is a political unity between the folks (includes the workers) and the government as the states' administrator. In the context of industrial relationship, there often take place interest differences between the state and the workers, and this condition can arise conflict between these two parties. Generally, the workers are judged as the marginal party who struggle only for the economical reasons, without any thinking of political stability. This research shows that this point of view is not exactly true, because the workers really dare to search justice and prosperity for the indigenous people who are the part of the citizens of the state.Based on this research can be concluded that the basic factors of the workers movement were not only economic interest, but also the spirit of anticolonial nationalism, which included the willingness to get liberty, juctice, and to show national dignity. AbstrakNegara dan buruh berhubungan erat, karena negara adalah suatu kesatuan politik antara rakyat (termasuk buruh) dan pemerintah sebagai administrator (pengurus) negara. Dalam konteks hubungan industrial, sering terjadi perbedaan kepentingan antara negara dan buruh, dan kondisi ini dapat menimbulkan konflik di antara dua pihak tersebut. Secara umum, buruh sering dianggap sebagai pihak marjinal yang hanya berjuang untuk alasan ekonomi, tanpa mempertimbangkan stabilitas politik. Akan tetapi, penelitian ini menemukan fakta bahwa pandangan tersebut tidak benar sepenuhnya, karena kenyataannya kaum buruh berani menuntut keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat bumiputera yang menjadi bagian dari warga negara. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa factor-faktor yang mendasari gerakan buruh tidak hanya kepentingan ekonomi, tetapi juga suatu semangat nasionalisme antikolonial, yang mencakup keinginan untuk merdeka, memperoleh keadilan, dan menunjukkan harga diiri bangsa. Kata kunci: nasionalisme buruh; gerakan buruh; nasionalisme antikolonial A. PendahuluanDalam penelitian ini buruh diartikan sebagai orang yang bekerja pada perusahaan baik swasta maupun pemerintah untuk memperoleh gaji atau upah. Secara harafiah buruh, sebuah kata yang berasal dari bahasa Jawa, adalah orang yang bekerja dengan tujuan memperoleh bayaran berupa uang.Dalam percakapan sehari-hari buruh dapat dibedakan atas buruh kantor (karyawan yang bekerja di kantor), buruh kasar/kuli/unskilled labour (karyawan yang bekerja dengan tenaga badan), dan buruh trampil (karyawan yang mempunyai ketrampilan tertentu seperti: tukang kayu, tukang jahit, tukang batu, juru ketik dan sebagainya) (Ensiklopedi Indonesia, 1980: 557). Buruh dapat dibedakan juga atas dasar tingkat ketrampilannya dalam suatu perusahaan, yaitu buruh trampil , buruh semitrampil, dan buruh tidak trampil.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.