Teknologi membuat sistem keuangan konvensional terlihat tidak praktis dan memakan waktu yang cukup lama. Kantor bank atau ATM pun menjadi kurang diminati, dari transaksi jual beli sampai urusan pinjam meminjam danapun bisa diakses dengan internet serta ponsel canggih, dan urusan transaksi keuangan jauh dari kata kaku dan berbelit. Namun, fenomena ini memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung kepada industri jasa perbankan sebagai penyedia jasa layanan keuangan resmi, perbankan sudah lebih dulu memberikan pengenalan produk bank, jasa pinjaman bank dan lain sebagainya kepada masyarakat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah membuat aturan untuk ditaati oleh penyelenggara bisnis pinjaman dari pengguna ke pengguna, atau biasa disebut dengan Fintech peer to peer lending (P2P lending) yaitu POJK Nomor 77/POJK.01/2016, peraturan ini bertujuan untuk melindungi konsumen terkait keamanan dana dan data, pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme, stabilitas sistem keuangan, hingga para pengelola perusahaan Fintech.
Legal anthropology approach is a scientific discipline which explicitly focuses on normative complexity in society and on the relationship between human behavior and its complexity and changes in both human behavior and normative complexity. The application of modern technology in villages has shown the central governments support, especially in the acceleration of village economy. On the other hand, there are not many people in the village who understand the application of the technology itself. Villages, that are vulnerable to changes, require special attention especially with regard to technology. The aim of legal anthropology in accelerating the digital economy is expected to provide a balance in the acceleration of village economy. Thus, the issue raised in this research is how the novelty and renewal of law on digital economy acceleration through the village website viewed from legal anthropology. This research used a normative legal research method which was done by describing views related to the subject matter. In terms of anthropological tendency, there is a tendency adjusted to the dynamics of the societys culture including the acceleration of digital economy for the village. Anthropology sees only law as an aspect of culture, namely an aspect used by public authority in regulating behavior and society, so that there are no deviations and irregularities of the determined social norms. Legal anthropology looks at possible differences or even conflicts in order to assess the modernization culture with the level of understanding in the village. The legal novelty and renewal in the village with regard to digital economic acceleration is considered as a channel, means, and a type of membrane that can be penetrated without disturbing or damaging the membrane.Pendekatan Antropologi hukum merupakan disiplin ilmiah yang paling eksplisit memusatkan perhatian pada ke-kompleksitasan normatif dalam masyarakat dan pada hubungan antara prilaku manusia dengan ke-kompleksitasan, perubahan-perubahan baik dalam prilaku manusia maupun dalam kekompleksitasan normatif. Penerapan teknologi modern di desa- desa telah menunjukan dukungan pemerintah pusat terutama dalam percepatan ekonomi desa. Di sisi lain masyarakat desa masih belum banyak yang mengerti akan penerapan teknologi itu sendiri. Desa yang rentan akan perubahan memerlukan perhatian yang khusus apalagi berkenaan dengan teknologi. Tujuan antropologi hukum dalam percepatan ekonomi digital diharapkan memberikan keseimbangan dalam percepatan ekonomi desa. Maka yang menjadi pertanyaan yakni bagaimana kebaruan dan pembaharuan hukum percepatan ekonomi digital melalui website desa dilihat dari sisi antropologi hukum. Penelitian sendiri menggunakan metode penelitian hukum normative dilakukan dengan cara mendeskripsikan pemikiran yang berkenaan dengan pokok bahasan. Kecenderungan antropologis, terdapat kecenderungan yang disesuaikan dengan dinamika budaya masyarakat termasuk didalamnya percepatan ekonomi digital bagi desa. Antropologi melihat hukum sebagai aspek dari kebudayaan, yaitu suatu aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam mengatur perilaku dan masyarakat, agar tidak terjadi penyimpangan dan penyimpangan yang terjadi dari norma-norma sosial yang ditentukan dapat diperbaiki.Antropologi hukum dengan melihat kemungkinan perbedaan atau bahkan pertentangan masyarakat desa dalam rangka menilai budaya modernisasi dengan tingkat pemahaman di desa.Kebaruan dan pembaharuan hukum di desa berkenaan dengan percepatan ekonomi digital dianggap sebagai saluran, sarana, sejenis selaput yang bisa ditembus tanpa mengganggu atau merusak selaput.
Dilatarbelakangi dengan suatu keprihatinan tentang teori-teori, pendapat-pendapat, dan konsepsi pemikiran hukum di Indonesia yang lahir dari para pakar dan ahli hukum. Kendatipun Indonesia telah Merdeka 76 Tahun, masih saja terbelenggu dan mengagungkan teori dan konsep pemikiran yang bersumber dari para ilmuawan Barat. Padahal ilmu hukum berbeda dengan ilmu sosial lainnya, apalagi dengan ilmu eksakta. Hukum itu bukanlah ilmu yang bersifat universal, tapi dia punya batas yuridiksi dan teritorial, dan hukum itu harus digali dan diambil dari nilai-nilai yang hidup dari masyarakatnya sendiri. Di Indonesia adalah hukum adat yang lahir dan tumbuh dan ditaati oleh masyarakat itu sendiri. Dengan melakukan penelitian kepustakaan dan mengamati fenomena yang ada di dunia akademis maupun dikalangan praktisi hukum kiranya saatnya kita mencari teori hukum yang bercirikan Keindonesiaan berdasarkan aliran Sociological Jurisprudence, halmana hukum sebagai pencerminan dan kongkretisasi nilai-nilai yang hidup dalam massyarakat (living law), selanjutnya hukum positif hanya akan efketif apabila selaras dengan hukum ynag hidup dalam masyarakat yang merupan cerminan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Dalam penulisan ini penlis mengambil contoh yang diambil dari falsafah Adat Jawa, Bali dan Minangkabau.
konsumen sebagai pemakai atau yang mengonsumsi barang dan jasa berhak mendapatkan perlindungan dan dimana merupakan bentuk dari perlindungan akan hak asasi setiap manusia, perlindungan yang dimaksud adalah pada saat membeli barang dan jasa adanya sikap jujur dan terbuka dari pihak penjual atau pelaku usaha, akan kualitas dan kuantitas barang dan jasanya, dan begitu juga pada saat terjadinya sengketa konsumen dikarenakan adanya ganti kerugian dari pihak pembeli atau barang dan jasa yang dijual atau tidak sesuai seperti yang diperjanjikan, setidaknya adanya sikap keterbukaan dan berdasarkan itikad baik untuk mengganti kerugian atas barang dan atau jasa yang dikonsumsi, dengan adanya itikad baik tentunya adanya tanggungjawab dari penjual atau pelaku usaha yang memberikan perlindungan kepada konsumen untuk tetap menikmati sebagai pemakai barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tujuan dari penulisan adalah untuk mengetahui bagaimana optimalisasi dari prinsip keterbukaan berdasarkan akan prinsip itikad yang baik dalam penyelesaian sengketa konsumen. Metode dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu dengan mengkaji literatur dan peraturan perundang-undangan, dimana hasilnya dengan optimalisasi dari prisnisp keterbukaan berlndasakan itikad baik dapat menyelesaikan sengketa konsumen karena dilaksanakan dengan tanggungjawab serta ganti kerugian yang layak kepada konsumen berdasarkan haknya yang merupakan perlindungan dari konsumen sendiri.
Introduction: This study aimed to examine the legal dialectic over the age limit for marriage and political rights in Indonesia. It was promoted by a new marriage regulation stipulating the minimum age of nineteen years for men and women. This regulation correlates with the rules containing the minimum age limit, necessitating a further discussion. Objective: Previous studies on the minimum age limit did not focus on the law dialectic. Methodology: There are contradictions between the normative method of law and the idea of legal dialectics. The conclusions were drawn inductively. Findings: There are inequalities in several laws and regulations over the minimum age. The legal products, including a minimum age, are specific to certain laws and actions. The marriage dispensation has broken through higher laws, significantly impacting political rights. Therefore, positive law that ideally becomes a thesis turns into an antithesis due to the dispensation.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.