This paper discusses possible advantages of having Non-Native English-Speaking Teachers (NNESTs) to teach English as a Foreign-Language (EFL) especially in Asian countries when they are often regarded as inferior to their Native English-Speaking Teachers (NESTs) counterparts. A native speaker fallacy has emphasized that NESTs are better teachers of EFL and have put NNESTs at a disadvantage. Actually, NNESTs possess advantages that can make them better teachers for teaching English in an EFL/ESL setting connected with their own EFL learning experiences and with sharing the same first language and cultural background with their students. While considered to have lower English language proficiency and lower self-confidence compared to NESTs, NNESTs who have made the effort to become quality teachers can position themselves as ideal English teachers in their own environment.

Selain Test of English as a Foreign Language (TOEFL) yang telah banyak diteirma secara internasional, Tes International English Language Testing Services (IELTS) merupakan standard tes uji kemampuan berbahasa Inggris yang valid dan terpercaya. IELTS banyak digunakan di dunia khususnya Inggris dan negara-negara persemakmuran. Namun, masih banyak guru di Aceh yang belum familiar dengan format tes ini, apalagi mengikuti tesnya. Oleh karena itu, tim dosen Bahasa Inggris Universitas Malikussaleh melaksanakan program pelatihan IELTS kepada guru-guru SMU dan SMK Se-Kota Lhokseumawe agar mereka lebih faham dengan pola tes ini dan mampu mengikuti tes di kemudian hari. Pelatihan ini diikuti oleh 25 peserta yang merupakan guru bahasa Inggris tingkat Sekolah Menengah Atas, SMU dan SMK di wilayah pemerintahan Kota Lhokseumawe. Para peserta mempelajari materi dan kisi-kisi soal listening, reading, writing dan speaking. 3 orang tutor turut mengisi sessi materi dan mengajarkan keempat skill dan jenis soal IELTS kepada peserta. Para peserta antusias dan berharap dilibatkan pada tahap pelatihan IELTS selanjutnya. 3 peserta menunjukkan tiingkat pemahaman yang lebih menonjol dibandingkan peserta lain. Mereka mampu menjawab soal dengan baik dan memberikan jawaban yang benar. 4 peserta lainnya menunjukkan potensi yang baik dalam materi yang diajarkan. Mereka tampil dengan jawaban yang kreatif walau dibutuhkan arahan lebih lanjut. 18 Peserta lainnya masih membutuhkan arahan dan pembelajaran lebih lanjut.

This study aims to formulate a learning communication model that is able to replace or modify the type of learning communication from the face-to-face system to blended learning during the Covid-19 pandemic and in the new normal period. This study focuses on learning communication in tertiary institutions on the grounds that students are expected to be independent in learning so that they no longer expect parental guidance in taking online classes, as happened at the primary and secondary education levels. With the consideration of the two things above, namely changes in learning communication with e-learning and the level of student independence, it is necessary to have a learning communication strategy in higher education to welcome the formation of a digital society. In this study, the tertiary institutions that were the object of research were three state universities in the North Aceh region and Lhokseumawe city, namely Malikussaleh University, Lhokseumawe State Polytechnic, and UIN Malikussaleh. The choice of the three universities refers to an effort to avoid long trips during the pandemic, because in addition to interviews using interactive virtual media remotely, in obtaining some information, direct observation must be used. The research was conducted using mixed approach -quantitative and qualitative-by involving respondents and informants from three main elements of the object of education, namely lecturers, students, and the community. In addition to interviews, Focus Group Discussion (FGD) was also conducted using the zoom application, by presenting an expert resource person who is active in Online learning training, namely Prof. Ujang Sumarna from the Bogor Agricultural Institute. The outcome in this study is the existence of a learning communication strategy in tertiary institutions in a region with regional criteria that are relatively far from the nation's capital with relatively lacking information and communication technology facilities. The outcomes are a model of blended learning as an alternative and a model of e-learning Maturity Model (eMM) as a strategy to prepare all elements of colleges to face the changes in education in this disruptive era.

No abstract

Transmigrasi merupakan program dari pemerintah yang memindahkan penduduk dari daerah yang padat penduduknya ke daerah yang masih sedikit atau belum ada penduduknya. Pada saat masyarakat transmigrasi baru beberapa tahun tinggal di desa tersebut, muncullah gejolak konflik antara kelompok GAM dengan Pemerintah Republik Indonesia, yang kemudian menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat transmigrasi dalam beradaptasi di wilayah transmigrasi, Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teori Adaptasi dari Usman Pelly dan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat transmigrasi di Desa Merah Mege memiliki apa yang disebut dengan misi budaya yang membuat mereka tetap bertahan di daerah yang sedang mengalami konflik, dan dalam beradaptasi pada masa konflik Aceh, masyarakat melakukan strategi adaptasi sebagai berikut: melakukan penjagaan bersama pada malam hari, kepemilikan senjata tajam dan rakitan, merubah aktivitas harian masyarakat transmigrasi, serta berkumpul dalam satu rumah yang sama untuk setiap lima keluarga. Kendala yang dihadapi oleh masyarakat transmigrasi adalah perasaan takut dan khawatir saat berkerja karena takut bertemu dengan GAM, ketakutan akan hukuman dari TNI, ketakutan saat mendengar suara tembakan dan melihat mayat yang dibunuh oleh TNI dan GAM serta terkendalanya masyarakat transmigrasi dalam melakukan pekerjaan berkebun dan kegiatan sehari-hari