Maritime traffic increase consequently would make the intensity of the ASL surveillance respectively. Indonesia owned several vital and important straits for maritime traffics, and one of them wass Sunda Straits, which was part of the ASL I connecting Indian Ocean and South China Sea and vice versa. The objectives of the research were (1) to created system model of Traffic Separation Scheme (TSS) in the ASL I Sunda Straits, (2) to studied the impact of TSS model to the territorial resilience of Sunda Straits. This research showed that the best TSS model in Sunda Straits was the solution-2 where TSS laided on western side of Sangiang Island, which was maritime channel in between Panjurit Island and Sangiang Island with still regard the ASL I, and also considered the existing danger of navigation of Koliot Reef by installing an aids to the navigation. The Eigen Value Matrix generated from the TSS Solution-2 model would guarantee Sunda Straits from the security threat, danger of navigation and risk environmental damages, and it would make ease the law enforcement through the straits due to foreign ships had to sailed over this TSS..ABSTRAKPeningkatan lalu lintas pelayaran menjadikan semakin berat tugas pengawasan jalur laut. Indonesia mempunyai beberapa selat yang sangat vital sebagai jalur pelayaran yaitu salah satunya adalah Selat Sunda dimana selat ini merupakan bagian dari Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, yang menghubungkan perairan Samudera Hindia melewati Selat Karimata menuju Laut China Selatan atau sebaliknya. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Membuat model sistem Traffic Separation Scheme (TSS) di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I Selat Sunda, 2) Mengkaji dampak pembangunan model TSS bagi ketahanan wilayah Selat Sunda.Penelitian ini menunjukkan bahwa Model TSS di Selat Sunda yang terbaik adalah solusi–2 dimana TSS berada di sebelah barat Pulau Sangiang, yaitu alur pelayaran di antara Pulau Panjurit dan Pulau Sangiang dengan tetap memperhatikan ALKI-I yang sudah ada, selain itu untuk keberadaan bahaya navigasi di Terumbu Koliot maka diletakkan SBNP. Model TSS Solusi-2 hasil perhitungan Matriks Eigen Value dilihat dari segi ketahanan wilayah Selat Sunda membuat terjaminnya perairan Selat Sunda dari bahaya keamanan, bahaya navigasi pelayaran serta bahaya pencemaran lingkungan, mempermudah penegak hukum dalam melaksanakan pengawasan karena setiap kapal asing yang akan melewati Selat Sunda harus melewati TSS ini.
This is the first study discussing the dynamics of two caldera-forming eruptions in the Banda volcanic complex (BVC) in the marine conservation zone of Banda, Maluku, Indonesia. The first and second caldera episodes are, hereafter, termed as Banda Besar and Naira, respectively. The formation of Banda Besar caldera (ca. 8 × 7 km) ejected homogeneous rhyolitic magmas (bulk-rock, 73.1–73.8 wt.% SiO2) in the following three stages: (1) sub-Plinian (BB-5a), (2) intra-sub-Plinian flow (BB-5b), and (3) caldera collapse (BB-5c and BB-5d). The BB-5a stage produced a reversely graded white pumice fall layer with moderate lithics (2–11%), which originated from a sub-Plinian eruption with an estimated plume height of 22–23 km. Subsequently, intensive erosion of wall rock (13–25%) causes conduit enlargement, leading to the partial collapse of the eruption columns, forming intra-sub-Plinian flow deposits (BB-5b). It is likely that conduit size surpassed the minimum threshold value for a buoyant plume during the final phase of the second stage, causing the complete formation of a pumice-rich pyroclastic density current (PDC) during the early-third stage (BB-5c). Finally, the evacuation of voluminous magma from the reservoir yields the first caldera collapse during the late-third stage, producing a lithic-dominated PDC with minor pumices (BB-5d). The formation of the Naira caldera (ca. 3 × 3 km) ejected homogeneous dacitic magmas (bulk-rock, 66.2–67.2 wt.% SiO2) in the following three stages: (1) early sub-Plinian (N-2a and 2b), (2) late sub-Plinian (N-2c, 2d, 2e), and (3) caldera collapse (N-2f). This research distinguishes the sub-Plinian into two stages on the basis of different vent locations (assumed from the isopach map). In particular, this research suggests that the early sub-Plinian stage (N-2a and 2b) erupted from the northern vent, producing 14 and 8 km eruption plume heights, respectively. Additionally, the late sub-Plinian stage (N-2c, 2d, 2e) was generated from a newly-formed conduit located in the relatively southern position, producing 12–17, 9, and 6 km eruption plume heights, respectively. Conduit enlargement is expected to occur during at both sub-Plinian stages, as lithic portions are considerably high (10–72%) and ultimately generate PDCs during the third stage (caldera collapse; N-2f). Because most of the erupted materials (for both caldera-forming eruptions) are emplaced in the ocean, estimating the erupted volume becomes difficult. However, with the assumption that the caldera dimension represents the erupted volume of magma (Vmagma), and that the total erupted volume (Vtotal) is a summation of Vmagma and the now-vanished pre-caldera island (Vvanished, represented by average lithic fractions), the first and second caldera might produce (at least) 35.2 and 2.4 km3 of erupted materials, scaling them as VEI (volcano explosivity index) 6 and 5, respectively. That VEI is more than enough to initiate a secondary hazard in the form of tsunamis triggered by volcanic activities.
Wilayah perairan laut Indonesia, sering dijadikan sebagai rute pelayaran yang efisien oleh kapal-kapal (lokal dan asing) untuk melintas Oleh karena itu, dalam memenuhi kewajibannya sebagai negara pantai, Indonesia menyelenggarakan Alur Laut Kepulauan Indonesia ALKI dimana salah satu mekanisme dalam menjaga keselamatan pelayaran dengan penataan alur pelayaran di laut yang digunakan untuk ketertiban lalu lintas kapal, keselamatan dan keamanan bernavigasi, dan perlindungan lingkungan maritim. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis frekuensi kapal yang melintas untuk mengurangi resiko terjadinya kecelakaan kapal di Selat Karimata dalam penetapan Traffic Separation Scheme (TSS), kemudian Mengetahui peran dari aspek hidrografi untuk mengidentifikasi bahaya navigasi dalam menunjang keselamatan pelayaran pada TSS, serta Pembuatan layout peta jalur TSS pada ALKI I di Selat Karimata dengan mengetahui batas – batas, kondisi lebar dan jarak di selat, bahaya navigasi di area TSS. ` Pendekatan penelitian yang dalam studi ini terutama didasarkan pada pemodelan penetapan batas berupa koordinat titik batas dan delineasi garis batas alur dengan dibuat rencana pembangunan alur pelayaran dengan mempertimbangkan keselamatan lalu lintas kapal-kapal yang biasa beroperasi di area tersebut. Secara teknis diperlukan survei hidrografi didahului dengan kegiatan survei hidrografi untuk mengetahui data kedalaman di sekitar perairan yang akan ditetapkan sebagai TSS. Penelitian ini menunjukkan bahwa penentuan TSS di selat Karimata adalah solusi terbaik untuk meningkatkan keselamatan pelayaran pada wilayah dengan memperhitungkan beberapa aspek antara lain aspek hidrografi, bahaya navigasi, serta data maritim.
Abstrak Wilayah perairan laut Indonesia, sering dijadikan sebagai rute pelayaran yang efisien oleh kapal-kapal (lokal dan asing) untuk melintas Oleh karena itu, dalam memenuhi kewajibannya sebagai negara pantai, Indonesia menyelenggarakan Alur Laut Kepulauan Indonesia ALKI dimana salah satu mekanisme dalam menjaga keselamatan pelayaran dengan penataan alur pelayaran di laut yang digunakan untuk ketertiban lalu lintas kapal, keselamatan dan keamanan bernavigasi, dan perlindungan lingkungan maritim. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis frekuensi kapal yang melintas untuk mengurangi resiko terjadinya kecelakaan kapal di Selat Karimata dalam penetapan Traffic Separation Scheme (TSS), kemudian Mengetahui peran dari aspek hidrografi untuk mengidentifikasi bahaya navigasi dalam menunjang keselamatan pelayaran pada TSS, serta Pembuatan layout peta jalur TSS pada ALKI I di Selat Karimata dengan mengetahui batas – batas, kondisi lebar dan jarak di selat, bahaya navigasi di area TSS. Pendekatan penelitian yang dalam studi ini terutama didasarkan pada pemodelan penetapan batas berupa koordinat titik batas dan delineasi garis batas alur dengan dibuat rencana pembangunan alur pelayaran dengan mempertimbangkan keselamatan lalu lintas kapal-kapal yang biasa beroperasi di area tersebut. Secara teknis diperlukan survei hidrografi didahului dengan kegiatan survei hidrografi untuk mengetahui data kedalaman di sekitar perairan yang akan ditetapkan sebagai TSS. Penelitian ini menunjukkan bahwa penentuan TSS di selat Karimata adalah solusi terbaik untuk meningkatkan keselamatan pelayaran pada wilayah dengan memperhitungkan beberapa aspek antara lain aspek hidrografi, bahaya navigasi, serta data maritim.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.