Banks, especially commercial banks, are not only financial intermediaries from those with surplus funds to those with deficit funds, but are also the financial foundation of every country engaged in business activities and the various services provided. Banks serve and launch payment system mechanisms for all sectors of the economy. As a financial institution, bank activities are based on the trust of customers who can be accounted for by the bank. The Bank as an Intermediary institution carries out its business activities based on banking principles and rules, one of which is the Prudential Principle which must be applied. Themethodology used in this research is a normative juridical approach, namely by collecting library data by examining library materials or secondary legal materials. In this case, by examining the legal issues contained in Court Decision Number 38/Pdt.G/2017/PN.Idm and Act Number 10, 1998. The precautionary principle as a form of legal protection forcustomers indirectly to anticipate losses to customers. Which should be implemented properly to maintain customer trust, but in its implementation the precautionary principle has not been applied optimally. This has been encountered in one of the cases where the bank was deemed not to have maximally implemented the prudential principles. Proof (validation) of the system, the Bank should apply the precautionary principle but in its implementation the Bank causes losses to customers and the loss of customer trust in the Bank.
Bank memiliki fungsi strategis dalam kancah perekonomian di setiap negara. Dalam fungsinya yang strategis ini sehingga perbankan selalu dihadapkan oleh regulasi dalam setiap langkah usahanya. Regulasi tersebut bukan saja pada bagaimana cara mendirikan atau izin mendirikan bank, namun pada setiap pos-pos neraca perbankan diatur sedemikian rupa agar bank berada dalam tingkat kesehatan yang terjaga guna memedomani prinsip–prinsip atau asas-asas perbankan. Salah satu prinsip perbankan yang menjadi perhatian serius para penegak hukum, adalah prinsip kehati-hatian. Pelaksanaan prinsip kehati-hatian secara faktual dapat kita lihat dalam penerapan analisis pemberian kredit secara mendalam dengan menggunakan prinsip the five principle C, yakni meliputi unsur character (watak), capital (permodalan), capacity (kemampuan nasabah), condition of economy (kondisi perekonomian), dan colleteral (agunan) 5. Prinsip kehati-hatian sangat diperlukan khususnya dalam hal bank hendak menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Prinsip kehati-hatian pada hakikatnya juga memberikan perlindungan hukum bagi nasabah. Prinsip kehati-hatian sering diartikan sebagai suatu prinsip agar bank dalam menjalankan usahanya harus memerhatikan berbagai risiko, baik itu risiko administratif maupun risiko hukum. Arti kehati-hatian sangat luas untuk ditafsirkan, sehingga setiap pelanggaran terhadap risiko, dikategorikan sebagai pelanggaran prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian dalam kasus perbankan, sangat terbuka luas untuk diterapkan. Pelanggaran prinsip kehati-hatian menjadi uraian kalimat dakwaan yang lazim dilakukan bagi penuntut umum untuk menjerat para pengelola perbankan yang ceroboh. Cukup banyak para bankir pelanggar prinsip kehati-hatian dijerat sebagai tindak pidana. Untuk menerapkan terjadinya pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam perkara pidana perbankan, biasanya Penuntut Umum mengkriminalisasinya dengan Pasal 49 ayat (1) huruf a dan Pasal 49 ayat (2) b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dua pasal sebagai dakwaan yang disusun secara alternatif bersumber dari penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK), diuji oleh hakim dalam kaitannya dengan pemberian kredit. Dakwaan Penuntut Umum selalu berujung karena pemberian kredit mengalami kemacetan sebagai akibat pemberian kredit nonprosedur, melanggar regulasi perbankan dan standard operational procedure (SOP). Menariknya dalam beberapa kasus perbankan, pemberian kredit yang dilakukan terdakwa dilakukan secara prosedur dan tidak ada rekayasa pembukuan. Sebab macet itulah sehingga terdakwa dihadapkan sebagai pelanggar prinsip kehati-hatian. Perlu ada produk regulasi perbankan yang secara khusus mengatur secara detail batasan-batasan sanksi apa saja yang disebut sebagai pelanggar administratif atau tindak pidana prinsip kehati-hatian. Sebab, jika tidak diatur secara jelas dan tegas akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Kata Kunci: , Tindak Pidana, Prinsip Kehati-Hatian
A work relationship is a relationship between a worker / laborer and an employer / employer that occurs after the employment agreement or based on a work agreement that has elements of work, wages and orders. Therefore, legal relations between workers and employers are bound by the existence of a work agreement. The purpose of this article is to report how to resolve industrial relations; to reveal wages according to the Labor Law; to report cases related to employment. The findings and discussion indicate that industrial relations disputes are differences of opinion which result in conflicts between employers or joint entrepreneurs with workers / laborers or trade unions because of disputes regarding rights, interests, termination of employment, and disputes between trade unions in one company . The procedures for resolving Industrial Relations Disputes (PHI) are in accordance with Law Number 2 Year 2004 concerning Settlement of Industrial Relations Disputes (PHI Law), namely: Bipartite Negotiations, Tripartite Negotiations, Mediation, Councils, Arbitration, Industrial Relations Court. From the case of PT Panca Puji Bangun regarding the wages of workers / laborers not in accordance with Surabaya City Minimum Wages, the case was resolved through the Industrial Relations Court (PHI).
Efektifitas lapas dalam menanggulangi tindak pidana teroris memunculkan pertayaan serius apakah efektifitas lapas pembinaan narapidana saat ini masih relefan atau tidak.Berbagai permasalahan yang kemudian menjadi akar dari permasalahan lainnya kemudian melemahkan fungsi lapas sebagai institusi perbaikan sosial masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) efektifitas pemberdayaan lapas klas lll gunung sindur Bogor, (2) model pembinaan narapidana di masa mendatang.Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris.Data sekunder dari perundang-undangan dan data kepustakaan yang berkaitan dengan terorisme,data primer didapatkan melalui Focus group discussion (FGD). Hasil yang didapatkan dari penelitian ini menunjukkan bahwa masih terdapat permasalahan pada sejumlah aspek pengelolaan seperti rasio petugas lapas dan narapidana dan kurang optimalnya implementasi berbagai program pemberdayaan dalam mempersiapkan proses asimilasi di masyarakat.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.