<span lang="IN">Era revolusi industri 4.0 berdampak dalam transformasi proses bisnis yang mendorong inovasi dan efisiensi. Pertumbuhan pengguna internet yang signifikan dalam pasar digital di berbagai bidang seperti perdagangan, pendidikan, kesehatan, pemerintahan, dan komunikasi memicu problematika dalam aspek perlindungan data pribadi warga negara. Konstitusi telah memberikan perlindungan data pribadi yang dioperasionalkan dalam beberapa Undang-Undang di berbagai aspek. Penelitian ini akan mengkaji peraturan perlindungan pribadi di Indonesia yang masih diatur secara parsial dalam berbagai perundangan serta menjawab bagaimana kesiapan Indonesia dan urgensi pengaturan regulasi perlidungan data pribadi serta memaparkan perbadingan regulasi perlindungan data pribadi di Uni Eropa berdasarkan <em>General Data Protection Regulation</em>. Metode penelitian adalah yuridis normatif dengan pendekatan kepustakaan yang menganalisis data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil dari penelitian ini adalah legislator perlu menyegerakan pengesahan Undang-Undang perlindungan data pribadi dengan melengkapi norma yang telah disusun dalam RUU yaitu terkait </span><span lang="IN">pembentukan lembaga yang berfungsi sebagai pengawas, regulator, dan pengendali (<em>independent regulatory body) </em>atau komisi pengawas perlindungan data pribadi.</span>
<div class="page" title="Page 1"><div class="section"><div class="layoutArea"><div class="column"><p><span>Redistribusi lahan merupakan agenda penting dalam reforma agraria, khususnya terkait Hak Guna Usana (HGU). Perlu peran serta seluruh pihak agar pelaksanaan redistribusi lahan ini terlaksana dengan tepat dan cepat, termasuk tentunya partisipasi masyarakat. Namun ada kebijakan Pemerintah yang membatasi akses informasi masyarakat terhadap data HGU. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kontradiksi kebijakan larangan akses data HGU dengan putusan Mahkamah Agung dan bagaimana transparansi informasi data HGU dapat mendukung redistribusi lahan berdasarkan perspektif penjaminan hak konstitusional warga negara mendapatkan informasi. Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif dengan pendekatan peraturan, putusan, dan doktrin. Hasil penelitian menunjukan bahwa telah terjadi kontradiksi dan penyimpangan terhadap Putusan Komisi Penyiaran Pusat No. 057/XII/KIP-PS-M-A/2015, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 2/G/KI/2016/PTUN-JKT, dan Putusan Mahkamah Agung No. 121 K/TUN/2017 melalui tindakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Surat Edaran Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian No.TAN.03.01/265/D.II. M.EKON/05/2019 yang mengecualikan informasi mengenai HGU sebagai informasi publik. Kemudian, akses informasi publik harus diutamakan daripada hak privasi informasi pribadi berdasarkan penjaminan hak konstitusional berdasarkan Pasal 28 F UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, transparansi merupakan pertanggungjawaban Pemerintah, sekaligus menghindari penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan Pemerintah. Untuk itu, transparansi informasi data HGU sesungguhnya dapat mendukung redistribusi lahan dalam rangka mewujudkan reforma </span><span>agraria.</span></p></div></div></div></div>
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk berdasarkan amanat reformasi 1998 yang menginginkan adanya penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Sejak dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, telah banyak kasus korupsi yang terselesaikan baik dalam skala sedang maupun skala besar. Namun, dengan berjalannya waktu sejak pembentukannya perlu peninjauan ulang pengaturan KPK mengingat semakin banyaknya pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi terkait dengan kedudukan dan kewenangan KPK. Terlebih, sebagai peserta penandatangan dan peratifikasi UNCAC, sudah seharusnya mengakomodir kedua intrumen tersebut. Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai bagaimana politik hukum penguatan kewenangan KPK dalam sistem ketatanegaraan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kasus dan perbandingan. Hasil penelitian yang didapatkan adalah perlunya revisi UU tipikor dengan menyesuaikan pada putusan pengujian undang-undang di MK dan ketentuan yang ada dalam UNCAC, seperti perampasan aset, perekrutan penyidik mandiri, dan memasukkan KPK sebagai organ konstitusi.The Corruption Eradication Commission was formed based on the 1998’s reformation that implement good governance that clean from corruption, collusion, and nepotism. Since it was formed by Law Number 31 of 1999 jo. Law Number 20 of 2001 on the Corruption Eradication Commission, there are many case have been solved in a medium and large scale. However, as time goes by, the Law needs to be reviewed because there are many judicial review towards Constitutional Court about the position and authority of the Corruption Eradication Commission. Moreover, Indonesia should make the Law that accommodate both of the instrument (position and authority) as a member that signed and ratified UNCAC. This research will discuss about how the legal politics of strengthens KPK’s authority in the constitutional system. This research used normative juridical method with comparative and case approach. The result shows that there’s a need to revise Law on the Corruption Eradication Commission in accordance to Constitutional Court’s Decision and UNCAC, like seizure of assets, recruitment of independent investigators, and the Corruption Eradication Commission as a constitution organ.
<p><span lang="IN">Pandemi </span><span lang="EN-US">C</span><span lang="IN">ovid-19 telah mendisrupsi berbagai aspek kehidupan masyarakat, tidak terkecuali proses penegakan hukum di lembaga peradilan. Ditutupnya lembaga peradilan sebagai respons atas kebijakan pemerintah untuk membatasi aktivitas masyarakat dalam rangka mengurangi kasus positif Covid-19 seolah menjadi hambatan bagi <em>justitiabellen</em> untuk mendapatkan keadilan substantif. Digitalisasi dan globalisasi yang berdampak pada disrupsi digital pada penegakan hukum di lembaga peradilan menjadi secercah harapan bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan. Beberapa negara di dunia</span><span lang="EN-US">, termasuk Indonesia, </span><span lang="IN">telah menerbitkan kebijakan disrupsi digital di lembaga peradilan</span><span lang="EN-US"> agar</span><span lang="IN"> proses penegakan hukum</span><span lang="EN-US"> dapat terus berjalan</span><span lang="IN">. Penelitian ini mengkaji bagaimana disrupsi digital dilaksanakan dalam penegakan hukum di Indonesia pada masa pandemi Covid-19 dan memaparkan perbandingan pelaksanaan penegakan hukum dengan disrupsi digital dari beberapa negara pada masa pandemi </span><span lang="EN-US">C</span><span lang="IN">ovid-19. Metode penelitian adalah yuridis normatif dengan pendekatan literatur dan komparatif. Hasil dari penelitian ini adalah terlepas dari telah cukup berhasilnya pelaksanaan persidangan virtual di masa pandemi </span><span lang="EN-US">C</span><span lang="IN">ovid-19 sebagai bentuk disrupsi digital pada penegakan hukum di lembaga peradilan, pemerintah masih perlu untuk menyusun peraturan di level </span><span lang="EN-US">u</span><span lang="IN">ndang-</span><span lang="EN-US">u</span><span lang="IN">ndang sebagai payung hukum yang memberikan standardisasi dan pedoman yang sama untuk proses penegakan hukum di lembaga peradilan melalui persidangan virtual agar keadilan substantif benar-benar terwujud.</span></p>
Kekuatan politik dalam pembuatan ratifikasi perjanjian internasional cenderung tinggi pada Presiden dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Idealnya, Presiden dan DPR harus dapat memberi interpretasi kumulatif bagi primat hukum nasional dan hukum internasional terhadap suatu perjanjian internasional. Dalam perkara Pengujian Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 10 UU Perjanjian Internasional dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang hanya jenis-jenis perjanjian internasional tertentu harus mendapat persetujuan DPR dengan sebuah UU. Artikel ini hendak membahas mengenai implikasi putusan MK dan mekanisme Pembuatan Dan Pengesahan Perjanjian Internasional Yang Baik Agar Sejalan Dengan Kepentingan Nasional. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan regulasi maupun putusan. Kajian ini menunjukkan persetujuan DPR sebagai bentuk representasi rakyat yang merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan asas demokrasi. Usulan Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional bertujuan untuk menyempurnakan UU tentang Perjanjian Internasional dan mengharmoniskannya dengan UU lain dan putusan MK. Dengan adanya usulan Perubahan ini, mekanisme pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional semakin mengutamakan Kepentingan Nasional dan tidak merugikan daerah.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.