<p>Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 memberikan politik hukum baru, di mana perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat oleh calon suami dan calon istri sebelum perkawinan (<em>prenuptial agreement</em>), sekarang dapat dibuat oleh suami istri setelah perkawinan berlangsung. Mahkamah Konstitusi memberi tafsir konstitusional di mana pembuatan perjanjian perkawinan bisa disesuaikan dengan kebutuhan hukum masing-masing pasangan. Sebelum adanya putusan MK, WNI yang menikah dengan WNA tidak bisa memiliki rumah berstatus hak milik atau hak guna bangunan karena terbentur aturan perjanjian perkawinan dan harta bersama. Ketentuan norma <em>aquo</em> membuat setiap WNI yang menikah dengan WNA selama tidak ada perjanjian pemisahan harta tidak bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan mengumpulkan putusan MK dan menganalisanya dengan teori untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan, yakni mengenai kapan dapat dibuatnya perjanjian perkawinan. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa perluasan kapan dapat dilakukan perjanjian perkawinan dapat meminimalisir adanya konflik dalam perkawinan dan mampu menciptakan keharmonisan terkait dengan hak milik bagi WNI yang menikah dengan WNA. Sehingga WNI yang menikah dengan WNA dan tidak mempunyai perjanjian perkawinan, dapat membuatnya pada saat perkawinan telah dilangsungkan.</p>
<p>Konstitusi sebagai hukum tertinggi di Indonesia memuat penghormatan terhadap perlindungan dan jaminan Hak Asasi Manusia dalam sistem hukum nasional. Oleh karena itu, setiap perundang-undangan yang mengatur kehidupan bangsa dan negara wajib berpedoman pada konstitusi. Perundang-undangan dimaksud tidak hanya terhadap hukum tertulis saja, tetapi juga terhadap hukum tidak tertulis yang diakui oleh konstitusi sebagai hukum yang hidup dan ditaati oleh masyarakat. Noken adalah salah satu hukum tidak tertulis yang digunakan dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada di beberapa wilayah di Papua. Noken diakui oleh konsitusi dan dijamin keberlangsungannya dengan persyaratan tertentu. Melalui penelitian ini akan dibahas mengenai bagaimana implementasi noken sebagai hukum tidak tertulis dalam sistem hukum nasional. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif melalui pendekatan studi kasus dengan menggunakan teori supremasi konstitusi, demokrasi dan hukum tidak tertulis. Hasil penelitian yang didapatkan bahwa noken merupakan salah satu hukum tidak tertulis yang didasarkan pada kesepakatan adat dalam menentukan pilihan dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada di beberapa wilayah di Papua. Konstitusi memberikan jaminan terhadap implementasi noken sebagai salah satu sistem pemiludengan persyaratan tertentu. Oleh karena itu, noken memiliki kedudukan sebagaisalah satu hukum tidak tertulis yang sah dalam sistem hukum nasional. </p>
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang lahir berdasarkan amandemen UUD 1945 memiliki fungsi sebagai lembaga terakhir penafsir konstitusi atau yang sering disebut sebagai the final interpreter of constitution. Fungsi ini biasanya dilaksanakan Mahkamah Konstitusi dalam kewenangannya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Terhadap frasa, ayat, pasal atau undang-undang yang dianggap tidak jelas atau multitafsir telah dimohonkan untuk diberikan penafsiran sesuai dengan konstitusi. Pun demikian dengan frasa keadilan sosial yang terdapat dalam beberapa undang-undang yang telah diputus Mahkamah Konstitusi. Terdapat 16 (enam belas) putusan dengan 10 (sepuluh) isu konstitusional dalam pengujian undang-undang selama periode 2003–2010 dalam bidang ketenagalistrikan, minyak dan gas bumi, ketenagakerjaan, sistem jaminan sosial nasional, sumber daya air, penanaman modal, pajak penghasilan, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan pertambangan mineral dan batu bara. Dari 10 isu konstitusional tersebut, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah lebih sering memilih menggunakan interpretasi gramatikal, interpretasi historis, interpretasi teleologis atau sosilologis dan interpretasi komparatif atau perbandingan. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa keadilan sosial dalam Pembukaan UUD 1945, mengandung makna “penguasaan negara” artinya negara harus menjadikan penguasaan terhadap cabang produksi yang dikuasainya itu memenuhi tiga hal yang menjadi kepentingan masyarakat: ketersediaan yang cukup, distribusi yang merata, dan terjangkaunya harga bagi orang banyak. Dengan dikuasai oleh negara, keadilan sosial diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. The Constitutional Court as an institution born based on the amendments to the 1945 Constitution has a function as the final interpreter of constitution. This function is usually carried out by the Constitutional Court in its authority to examine laws against the 1945 Constitution. Regarding phrases, verses, articles or laws that are deemed unclear or multiple interpretations have been requested to be interpreted in accordance with the constitution. Even so with the phrase social justice contained in several laws that have been decided by the Constitutional Court. There are 16 (sixteen) decisions with 10 (ten) constitutional issues in judicial review during the 2003–2010 period in the fields of electricity, oil and gas, employment, national social security systems, water resources, investment, tax income, management of coastal areas and small islands and mining of minerals and coal. Of the 10 constitutional issues, in its legal considerations the Court often chooses to use grammatical interpretations, historical interpretations, teleological or sosilological interpretations and comparative or comparative interpretations. The Constitutional Court stated that social justice in the Preamble of the 1945 Constitution, contained the meaning of "state control" means that the state must make control of the controlled branch of production fulfill three things that are in the public interest: adequate availability, equitable distribution and affordability. By being controlled by the state, social justice is interpreted to include the meaning of control by the state in a broad sense that is derived and derived from the conception of the sovereignty of the people of Indonesia over all sources of wealth "earth, water and natural wealth contained in it" the people for the intended sources of wealth.
ABSTRAKPemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda reformasi dalam menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintahan dari masa ke masa mulai dari pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dan diaturnya korupsi dalam sebuah peraturan perundang-undangan sendiri terlepas dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kedua instrumen tersebut telah mampu menjadi harapan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Meskipun demikian, perlu dipikirkan kembali instrumen lain yang dapat menjadi peluang dalam mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam penulisan artikel ini akan membahas mengenai rancangan undang-undang perampasan aset sebagai peluang dan tantangan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Metode penulisan yang digunakan adalah dengan yuridis normatif, dengan melihat peraturan perundang-undangan yang ada dengan ditunjang oleh teori-teori hukum yang ada. Hasil penelitian yang didapat bahwa rancangan undang-undang perampasan aset memiliki mekanisme khusus dalam pengembalian aset negara akibat dari korupsi tanpa adanya putusan pengadilan yang dapat membuat efek jera kepada para pelaku korupsi. Namun, tidak dipungkiri bahwa pemberlakuan perampasan aset masih mengalami stagnasi karena rendahnya political will dari para pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, dapat disarankan kepada Pemerintah dan legislatif untuk dapat mendorong pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang perampasan aset segera. Kata Kunci: Korupsi, Peluang, Perampasan Aset, Tantangan.
Keberlakuan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum yang diakui di Indonesia selalu menarik untuk dilakukan penelitian. Indonesia yang terpengaruh dengan sistem hukum civil law pada dasarnya tidak mengikatkan diri pada yurisprudensi. Namun apabila ada putusan yang dianggap kontradiksi dengan putusan sebelumnya menjadi perdebatan mengenai bagaimana keberlakuan yurisprudensi yang telah ada. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman memiliki kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dalam kewenangannya tersebut, terkadang Mahkamah Konstitusi dibenturkan dengan putusan terdahulu yang telah menjadi landmark namun tidak diikuti. Dengan kata lain, terdapat kontradiksi antara putusan yang terdahulu dengan putusan yang ada saat ini. Dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana keberlakuan yurisprudensi pada pengujian undang-undang dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Metode analisis yang digunakan adalah studi pustaka dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini adalah bahwa yurisprudensi adalah sumber hukum yang dapat menjadi rujukan dalam memutus suatu perkara pengujian undang-undang namun tidak mengikat hakim untuk menyimpanginya berdasarkan alasan yang logis sesuai dengan pinsip the judiciary independence dan judiciary accountability serta konsepsi the living constitution.The enforceability of jurisprudence as one of the recognized legal sources in Indonesia is a compelling research topic. Indonesia that uses the civil law on law system does not bind to jurisprudence. Nevertheless, if there is a decision that is contradictory to the previous one, that will be a debate over how the enforceability of the existed jurisprudence. The Constitutional Court as one of the judicial authority has the authority to examine the law against the Constitution 1945 of the State of the Republic of Indonesia. In its authority, the Constitutional Court is bumped by a previous decision which has become a landmark but was not followed. In other words, there is a contradiction between the previous decision and the present decision. This research will see how the enforceability of jurisprudence on the judicial review in the decision of the Constitutional Court. The analysis method used is literature study using case study approach. The conclusion available in this study is that jurisprudence is a source of law that can be a reference in a union of judicial review cases but not bound by judges to deviate based on logical reasons in the judiciary independence and judiciary accountability as well as the conception of the living constitution.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.