ABSTRAKTindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan yang melanggar hak asasi manusia. Dalam praktik, masih terdapat kendala untuk memulihkan hak asasi manusia korban tindak pidana perdagangan orang, sehingga diperlukan pendekatan berdasarkan hukum progresif dan hak asasi manusia (human rights based approach). Artikel ini menjawab rumusan masalah yaitu pemulihan korban tindak pidana perdagangan orang berdasarkan pendekatan hukum progresif dan hak asasi manusia dalam Putusan Nomor 978/Pid.Sus/2016/PN.JKT.PST. Metode penelitian menggunakan penelitian hukum kualitatif melalui pendekatan putusan, regulasi, dan doktrinal, serta pengumpulan data dengan studi kepustakaan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, serta wawancara narasumber. Hasil kajian menunjukkan Putusan Nomor 978/Pid.Sus/2016/PN.JKT.PST menerapkan hukum progresif melalui sita restitusi yang sesungguhnya belum diatur secara normatif dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Terobosan hukum ini dilakukan dengan menyita kekayaan terdakwa pada tingkat penyidikan atau penuntutan untuk kepentingan ganti kerugian terhadap korban. Selain itu, kajian terhadap putusan menunjukkan putusan ini sebenarnya telah memiliki dimensi berdasarkan pendekatan hak asasi manusia. Namun, terobosan hukum pada putusan masih belum sepenuhnya menjamin pemulihan hak asasi manusia karena terdapat kemungkinan terdakwa tidak mampu membayar atau tidak memiliki kekayaan untuk disita, maka negara berkewajiban hadir untuk memulihkan hak korban tindak pidana perdagangan orang melalui pemberian kompensasi.Kata kunci: tindak pidana perdagangan orang, hukum progresif, hak asasi manusia. ABSTRACT Human trafficking is a crime that violates human rights. In practice, there are still some obstacles in legal remedies of human rights of the victims of human trafficking that an approach based on progressive law and human rights is needed. This analysis elaborates the formulation of the problem in Decision Number 978/Pid.Sus/2016/PN.JKT.PST concerning legal remedies of the human trafficking victims based on progressive legal and human rights approach. The method applied is qualitative legal research through decisions, regulations, and doctrinal procedures, as well as library data collecting on primary and secondary legal materials, along with interviews. The results of the study show that the Decision Number 978/Pid.Sus/2016/PN.JKT.PST applies progressive law through the confiscation of restitution which is not yet normatively regulated in the Law on Eradication of Human Trafficking Crimes. Legal breakthrough is made by confiscating the assets of the defendant in the investigation or prosecution level for the victims' compensation. Further, the analysis result of court decisions shows that the decision has already had dimensions based on the human rights approach. But, the legal breakthrough in the declaration still cannot fully guarantee the legal remedies of human rights of the victims if the defendant cannot be able to pay or have no properties to confiscate. In this case, the state is obliged to give back the rights of the victims of human trafficking through compensation. Keywords: human trafficking, progressive law, human rights.
The hierarchy of legislation in Indonesia has been amended 4 (four) times, but still contains juridical issues. The most common problems are related to the overlapping of existing rules. Law Number 12 Year 2011 as the guidance of hierarchy of legislation which is considered to improve the probability in the previous law, was also experiencing the same problem. Some of the problems contained in Law 12/2011 are related to the reposition of the People's Consultative Assembly decree (MPR's decree), the unclear position of the ministerial regulations, the state organs regulations, and local regulations of village. Even, as well as the content of the presidential regulation that is considered to be the same as the government regulation. This paper will discuss about (1) the legal historis and legal policy of the hierarchy of legislation in Indonesia and its problems; (2) the reconstruction of the hierarchy of legislation in Indonesia. The results of this paper that the establishment of a hierarchy of legislation in Indonesia has each political law in accordance with the regime at the time. Each hierarchy has its own problems, although the original aim is to discipline and correct the ambiguity of the previous legislation. Thus, the reconstruction of the hierarchy of legislation is important to ensure consistency and harmony of norms at various levels of legislation. The reconstruction in question is to rearrange the hierarchy of legislation by distinguishing between the legislation in the central and regional levels. AbstrakHierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia telah diubah sebanyak 4 (empat) kali, namun masih mengandung permasalahan-permasalahan yuridis di dalamnya. Permasalahan yang paling sering terjadi berkaitan dengan tumpang tindihnya aturan-aturan yang ada. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pedoman hierarki perundang-undangan yang dianggap dapat mengatasi masalah dalam undang-undang sebelumnya, namun juga mengalami masalah yang sama. Beberapa problematika yang ada dalam UU No. 12 Tahun 2011 berkaitan dengan dikembalikannya kedudukan ketetapan MPR, tidak tegasnya kedudukan peraturan menteri, kedudukan peraturan lembaga negara, dan peraturan desa, serta materi muatan peraturan presiden yang dianggap sama dengan peraturan pemerintah. Tulisan ini akan membahas mengenai (1) legal historis dan politik hukum hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia beserta permasalahan-permasalahnnya; dan (2) rekonstruksi hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Adapun hasil penulisan ini bahwa pembentukan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia memiliki politik hukum masing-masing sesuai dengan rezim pemerintahan pada saat itu. Setiap hierarki memiliki problematikanya masing-masing, meskipun tujuan awalnya sama yaitu untuk menertibkan dan memperbaiki kerancuan dari peraturan sebelumnya, sehingga rekonstruksi hierarki peraturan perundang-undangan penting dilakukan agar menjamin konsistensi dan keselarasan norma-norma pada berbagai tingkatan peraturan perundang-undangan. Adapun rekonstruksi yang dimaksud adalah dengan menata kembali hierarki peraturan perundang-undangan dengan membedakannya antara peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan tingkat daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 menjadi salah satu putusan penting bagi desain lembaga perwakilan di Indonesia. Dalam Putusan tersebut, MK menyatakan bahwa pengurus partai politik dilarang menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Namun, tindak lanjut dari Putusan ini memicu polemik ketatanegaraan. Sebab, terjadi kontradiksi mengenai waktu pemberlakuan larangan tersebut akibat adanya perbedaan pemaknaan terhadap Putusan MK di dalam Putusan MA Nomor 64/P/HUM/2018, Putusan PTUN Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT, dan Putusan Bawaslu Nomor 008/LP/PL/ADM/RI/00/XII/2018. MK secara eksplisit menyatakan bahwa Putusannya berlaku sejak Pemilu 2019. Akan tetapi, Putusan MA, Putusan PTUN, dan Putusan Bawaslu menyatakan larangan tersebut berlaku setelah Pemilu 2019. Artikel ini mengkaji kontradiksi Putusan-Putusan tersebut dengan menggunakan tiga pisau analisis, yaitu: (1) finalitas putusan; (2) respons terhadap putusan; dan (3) validitas atau keberlakuan norma. Dengan menggunakan doktrin responsivitas terhadap putusan pengadilan dari Tom Ginsburg, artikel ini menyimpulkan bahwa Keputusan KPU yang tetap kukuh untuk memberlakukan larangan bagi pengurus partai politik sebagai calon anggota DPD sejak Pemilu tahun 2019 sesungguhnya merupakan tindakan yang formal konstitusional karena telah mengikuti (comply) penafsiran konstitusional yang terkandung di dalam Putusan MK. Di lain sisi, tindakan KPU juga merupakan bentuk yang secara sekaligus mengabaikan (ignore) Putusan MA, Putusan PTUN, dan Putusan Bawaslu. Meskipun demikian, respons KPU tersebut dapat dibenarkan karena Putusan MK memiliki objek dan dasar pengujian lebih tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga memiliki validitas atau keberlakuan hukum yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan Putusan MA, Putusan PTUN, atau Putusan Bawaslu. Dengan demikian, tindakan KPU yang konsisten mengikuti Putusan MK tersebut merupakan respons konstitusional yang memiliki justifikasi hukum dan konstitusi.
<div class="page" title="Page 1"><div class="section"><div class="layoutArea"><div class="column"><p><span>Redistribusi lahan merupakan agenda penting dalam reforma agraria, khususnya terkait Hak Guna Usana (HGU). Perlu peran serta seluruh pihak agar pelaksanaan redistribusi lahan ini terlaksana dengan tepat dan cepat, termasuk tentunya partisipasi masyarakat. Namun ada kebijakan Pemerintah yang membatasi akses informasi masyarakat terhadap data HGU. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kontradiksi kebijakan larangan akses data HGU dengan putusan Mahkamah Agung dan bagaimana transparansi informasi data HGU dapat mendukung redistribusi lahan berdasarkan perspektif penjaminan hak konstitusional warga negara mendapatkan informasi. Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif dengan pendekatan peraturan, putusan, dan doktrin. Hasil penelitian menunjukan bahwa telah terjadi kontradiksi dan penyimpangan terhadap Putusan Komisi Penyiaran Pusat No. 057/XII/KIP-PS-M-A/2015, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 2/G/KI/2016/PTUN-JKT, dan Putusan Mahkamah Agung No. 121 K/TUN/2017 melalui tindakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Surat Edaran Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian No.TAN.03.01/265/D.II. M.EKON/05/2019 yang mengecualikan informasi mengenai HGU sebagai informasi publik. Kemudian, akses informasi publik harus diutamakan daripada hak privasi informasi pribadi berdasarkan penjaminan hak konstitusional berdasarkan Pasal 28 F UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, transparansi merupakan pertanggungjawaban Pemerintah, sekaligus menghindari penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan Pemerintah. Untuk itu, transparansi informasi data HGU sesungguhnya dapat mendukung redistribusi lahan dalam rangka mewujudkan reforma </span><span>agraria.</span></p></div></div></div></div>
<p><span lang="EN-US">Pembentukan Badan Regulasi Nasional (BRN) atau sebelumnya disebut Pusat Legislasi Nasional (PLN) merupakan gagasan yang disampaikan Presiden Joko Widodo sebagai upaya mengatasi problematika peraturan perundang-undangan. Meskipun, Pemerintah telah mengesahkan </span><span lang="EN-US">UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur beberapa kewenangan BRN/PLN. Namun, ternyata sampai saat ini BRN/PLN ini belum juga terbentuk, bahkan terjadi stagnansi perkembangan. Permasalahan yang hendak dijawab: Bagaimana problematika dan praktik penyusunan peraturan perundang-undangan saat ini? Bagaimana formulasi Badan Regulasi Nasional yang ideal kedepan mewujudkan reformasi regulasi? Metode penelitian menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukan agenda reformasi regulasi di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala: hiper regulasi, kontradiksi substansi, disharmonisasi kelembagaan negara, serta inkonsistensi proses bisnis. Formulasi ideal BRN/PLN berdasarkan konsep kelembagaan negara yaitu BRN/PLN merupakan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang diatur melalui Peraturan Presiden. BRN/PLN berwenang: a. Mewakili Pemerintah dalam pembentukan undang-undang; b. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan; c. Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan, struktur kelembagaan BRN/PLN: a. Berada di bawah Presiden; b. Pimpinan ditunjuk dan bertanggung jawab kepada Presiden. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan dan Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta fungsi harmonisasi peraturan perundang-undangan pada Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet diintegrasikan ke BRN/PLN.</span></p>
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.