Penelitian ini mengkaji tentang peranan pemerintah daerah Aceh dalam menangani konflik keagamaan antar mazhab Islam. Secara sosiologis, konflik keagamaan bisa didefinisikan sebagai pertentangan antara dua orang atau lebih atas kepentingan, tujuan, dan pemahaman yang membawa doktrin agama sebagai alasan konflik. Suatu konflik sosial tidak serta merta terjadi kecuali diawali dengan adanya potensi yang mengendap di dalam masyarakat dan kemudian berkembang, memanas, menjadi ketegangan, dan pada akhirnya memuncak menjadi konflik fisik sebagai akibat dari adanya pemicu. Dalam konteks Aceh, konflik keagamaan tersebut terungkap dari pertentangan antar mazhab Islam yang menjelma dalam kasus-kasus pergantian kepengurusan mesjid secara paksa yang kadang diasosiasikan sebagai kasus perebutan mesjid. Secara sederhana, tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana peran pemerintah daerah Aceh dalam menangani konflik keagamaan antar sesama umat Islam yang terkotak-kotak dalam mazhab. Penelitian ini merupakan kajian hukum normatif-empiris dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk menciptakan kerukunan antar umat Islam di Aceh, diantaranya melalui forum kajian keagamaan, temu ilmiah, kegiatan sosial keagamaan antar kelompok Islam. Selain dari itu organisasi keagamaan seperti MPU Aceh, NU, Muhammadiah dan lainnya telah melakukan upaya untuk mencari titik temu terhadap perbedaan-perbedaan mazhab fikih yang ada dalam masyarakat Aceh. Meskipun demikian terdapat indikasi bahwa mazhab syafi’iyah dan asy’ariyah mendapat dukungan lebih dari pada mazhab lain dari pemerintah Aceh yang dapat dilihat dalam sejumlah Perda dan Surat Perintah Gubernur.
Socialization and legal counseling on the Tuha Peut Traditional Institution in dispute resolution in Sawang District are part of community service activities. The background of this activity is that in the Qanun of Customary Institutions, Tuha Peut is one of the customary institutions that has the authority to settle disputes between members of a community of a village. In Sawang Subdistrict, Aceh Utara District, there are still many customary disputes that have not been resolved by customary settlement in the village and many have been reported by the community to the police. This is also due to the lack of knowledge of the Tuha Peut Customary Institution in resolving disputes at the village level. This socialization and legal counseling was carried out by presenting the material and continued with a discussion of questions and answers and swearing back. The results of socialization and legal counseling in Sawang District found that the results of the feedback provided by participants experienced an increase in understanding of the role of the Tuha Peut Traditional Institution in dispute resolution. The implementation of this activity received a good response from the Tuha Peut Customary Institution, because they increased their knowledge and they rarely got activities like this.
Korupsi di Indonesia berkembang dengan sangat pesat pada beberapa dekade terkahir ini, akibat dari tingginya kasus tindak pidana korupsi, menempatkan Indonesia pada jajaran negara terkorup di dunia. Pemerintah telah berupaya keras dalam mengatasi permasalahan korupsi, hal tersebut dikarenakan tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang bersifat sistematis dan teratur. Selain hukum positif, Indonesia juga tidak terlepas dari ajaran agama. Secara tegas agama sangat melarang perbuatan korupsi karena korupsi termasuk sebagai tindak pengkhianatan dan kezaliman, telah banyak penjelasan tentang larangan perbuatan korupsi baik pada Al Qur’an serta Hadist. Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif yang merupakan penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder. Dengan menggunakan metode berfikir deduktif (cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus). Hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Positif diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan dalam Hukum Islam Tindak Pidana Korupsi diatur melalu Al-Qur’an dan Hadist. Perbandingan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi menurut Hukum Positif dan Hukum Islam dapat disimpulkan bahwa Hukum Postif untuk menentukan pemidanaan tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan hukuman penjara maksimal 20 Tahun penjara serta hukuman tambahan berupa membayar denda. Sedangkan Hukum Islam perbuatan korupsi merupakan pencurian dan hukumannya potong tangan dan hukuman mati. Saran dalam penelitian ini, Hukum di Indonesia harus memenuhi unsur keadilan tidak membuat perpecahan sesama masyarakat , serta penegak hukum harus tegas dalam menjatuhkan hukuman pidana bila perlu di dasari Al-Qur’an dan Hadist. Kata Kunci: Tindak Pidana Korupsi, Hukum Positif, Hukum Islam
This article describes the discourse on Mawah culture in Aceh, namely about why the concept of mawah continues to exist among the people of Aceh and what are the implications of mawah practice for mawah practitioners. This study is a field research conducted based on qualitative methods and a socio-legal approach. Data reviews are examined from interviews, observations, and previous studies and information from the media. In analyzing the discourse in this article, the author uses the capital and habitus theory framework from Pierre Bourdiue and the maqashid sharia theory from Jasser Auda. The results of this study indicate that, mawah is a habitus that continues to exist and is practiced by the people of Aceh, the existence of mawah is also supported by the arena and capital owned by the parties, both cultural, social and economic capital. In addition, the vacancy of cultural capital can also be a driving factor for the practice of mawah. Meanwhile, the continued existence of mawah practices can also be influenced by the realization of mawah's objectives and the benefits that will be obtained by the people of Aceh. Borrowing an analytical knife in maqāshid al-'ammah, then there is the placement of soul safety (Hifz al-nafs) as the main basis for the purpose of establishing an Islamic economy that is just and has the principle of helping each other. Meanwhile in maqāshid al-khassah (special purpose), this represents the existence of hifz al-māl, where with the concept of mawah, the productivity of an asset is more optimal. Furthermore, within the reach of maqāshid juziyyah (partial goal), the practice of mawah also contains the aim of strengthening and developing the economies of the parties through the realization of maqāshid protecting assets (hifz al-māl), whether it is protecting the assets of the owner of the mawah object as an investor or as an effort to strengthen the economy of the mawah object manager.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.