Endometritis is an inflammation of the uterine wall that may decrease fertility in the short term and may lead to sterility in the long term. This study was conducted to examine the effectiveness of lugol for endometritis therapy in aceh cow. This study used three aceh cows that had been diagnosed endometritis by ultrasonography. The three aceh cows were then treated with 20 ml of 2% lugol intra-uterine. Observation of the uterine healing process was performed by using transrectal ultrasonography for 24 days after treated with lugol. Parameters observed were uterine diameter, the thickness of the endometrium and the presence of mucus and discharge in the uterus. The result showed that the three cows did not show a significant change. A cream-yellowish discharge came out from the uterus continuously, the diameter of uterine was still large and the sonograph of endometrial displayed as a hyperechoic until the 24th day after therapy. In conclusion, the use of 2% Lugol as a therapy for endometritis in aceh cows during 24 days is not effective on the uterine healing of endometritis’s cows.
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran involusi uterus kambing kacang berdasarkan pengamatan dengan ultrasonografi (USG) transkutaneus. Hewan yang digunakan adalah 1 ekor kambing kacang betina pascapartus dengan status melahirkan normal dan melahirkan satu ekor anak. Kambing diperiksa dalam posisi berbaring (lateral recumbency). Pengamatan involusi uterus dilakukan setiap hari, dimulai dari hari pertama pascapartus sampai tidak ada lagi pengurangan diameter lumen kornua uterus. Pada hari pertama sampai hari ke-7, gambaran karunkula (hypoechoic), lokia (anechoic), lapisan miometrium, dan endometrium (hypoechoic) yang dipisahkan oleh lapisan pembuluh darah (anechoic) terlihat jelas dengan diameter lumen kornua uterus menurun dari 87,6 menjadi 52,8 mm. Pada hari ke-8 diameter lumen 45,4 mm menurun menjadi 38,4 mm pada hari ke-14. Lokia dan lapisan miometrium masih terlihat sedangkan lapisan pembuluh darah dan karunkula sudah tidak terlihat. Pada hari ke-15 diameter lumen 35,5 mm menurun menjadi 19,3 mm pada hari ke-20 dengan lapisan uterus, lokia, lapisan pembuluh darah, dan karunkula sudah tidak terlihat. Ukuran diameter lumen kornua uterus mengalami penurunan setiap hari dan berhenti mengalami penurunan pada hari ke-20 dengan diameter 19,3 mm. Penelitian ini memperlihatkan bahwa proses involusi uterus kambing dapat diamati dengan metode USG transkutaneus.
ABSTRAKPenelitian ini bertujuan mengetahui perbandingan kinerja berahi kambing kacang dan kambing peranakan etawah (PE) yang mengalami induksi berahi dengan prostaglandin F2 alfa (PGF2α). Dalam penelitian ini digunakan adalah 15 ekor kambing betina yang dibagi atas dua kelompok. Kriteria kambing yang digunakan adalah kondisi tubuh sehat secara klinis, sudah pernah beranak, umur 1,5-3,0 tahun, dan memperlihatkan siklus reguler minimal 2 siklus. Pada Kelompok I (KI) terdiri atas 10 ekor kambing kacang dan kelompok II (KII) terdiri atas 5 ekor kambing PE. Seluruh kambing disinkronisasi berahi dengan PGF2α (Capriglandin PENDAHULUANDi Indonesia, hewan yang populasinya terbanyak dan tersebar luas adalah kambing. Di antara breed kambing yang dipelihara tersebut adalah kambing kacang dan kambing peranakan etawah (PE) karena dapat menghasilkan daging, kulit, dan juga sebagai sumber penghasil susu (Williamson dan Payne, 1993). Kambing PE merupakan bangsa kambing yang terbentuk dari hasil persilangan antara kambing asli Indonesia (kambing kacang) dengan kambing etawah yang berasal dari India sedangkan kambing kacang merupakan kambing asli Indonesia dan Malaysia. Kambing kacang mempunyai beberapa keuntungan antara lain memiliki sifat yang lincah, tahan dalam berbagai cuaca, dan mampu beradaptasi dengan cepat di lingkungan yang baru (Mulyono dan Sarwono, 2004;Ismail, 2006).Teknologi inseminasi buatan (IB) merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan potensi reproduksi kambing. Aplikasi teknologi IB pada kambing dibatasi oleh intensitas berahi yang tidak terlalu jelas sehingga angka keberhasilannya relatif rendah. Hal ini menyebabkan kesalahan deteksi estrus terutama dalam menentukan waktu estrus yang tepat. Budiarsana dan Sutama (2001) menyatakan bahwa kambing PE memiliki tanda-tanda berahi yang kurang jelas dibandingkan ternak lain. Orihuela (2000) melaporkan bahwa, beberapa faktor yang memengaruhi intensitas berahi yakni interaksi sosial, manajemen, lingkungan, nutrisi, umur, dan kehadiran pejantan. Britt (1993) menerangkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi durasi berahi meliputi bangsa, umur, dan musim.Upaya untuk memperjelas tanda-tanda estrus dilakukan dengan teknik sinkronisasi estrus (Yunitasari, 2012). Sinkronisasi bertujuan agar ternakternak betina dapat berahi secara serentak, pengamatan berahi akan lebih mudah, dan pelaksanaan perkawinan dapat dilakukan dengan tepat waktu (Odde, 1990). Hastono (2003) melaporkan bahwa usaha sinkronisasi berahi harus disertai pengamatan terhadap tanda-tanda
Bovine viral diarrhea virus (BVDV) is one of the most important infectious diseases in cattle breeding. Bovine respiratory disease complex (BRDC) is a respiratory disease in mature and calf cattle which is a viral and bacterial superinfection including BVDV. The purpose of reseach is to study the role of BVDV in cases of Bovine respiratory disease complex (BRDC), especially with the characteristic of lesions were granulomatous pneumonia. The material in this study was lung tissue that was fixed with 10% formaldehyde buffer of calf sampel collected in October and November 2019. The sample is processed in a pathology laboratory for hematoxyline eosin (HE) staining and followed by immunohistochemical staining (IHC). A total of 11 lung samples sent from imported beef cattle and dairy cattle with a diagnosis of pneumonia complex morphology continued with CPI testing with monoclonal antibodies against bovine viral diarrhea virus. Nine samples showed positive CPI results against BVDV and two other samples were negative. Bovine viral diarrhea virus is detected in all granulomatous pneumonia, so it has an important role in BRDC. Early detection, treatment and prevention of BRDC affected or followed by BVDV must be carried out programmatically.
This study aims to determine the efficacy of jatropha curcas L. cream in the maturation phase of healing of mice leather injuries. This study used nine rats with 3 treatments, ie treatment group I smeared cream base (P1), treatment group II smeared 0.1% sulfadiazine cream (P2) and treatment group III smeared jatropha curcas 10% (P3). The result of ANAVA test of treatment I, treatment II and treatment III had significant effect (P 0,05) on fibroblast cells but each treatment group on collagen density level showed significant effect (P 0.01). Duncan test results on fibroblasts, P3 was significantly different (P 0.05) with P2 and P3, whereas the results on P3 collagen density were significantly different (P 0.01) with P2 and P1. The conclusion that 10% jatropha gum cream for 10 days can decrease the number of fibroblast cells and increase the amount of collagen thus accelerate the process of maturation phase of healing of mice leather injuries.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.