Diabetes merupakan penyakit kronis yang termasuk dalam sepuluh penyebab kematian tertinggi di seluruh dunia. Patogenesis DM 2 melibatkan mekanisme kompleks pada berbagai organ. Kondisi psikis termasuk stres, cemas, dan depresi dinilai berhubungan timbal balik dengan terjadinya ganggua regulasi glukosa. Sebaliknya kondisi hiperglikemia pada individu DM 2 dapat memicu munculnya berbagai permasalahan psikis. Gangguan psikis kronis dapat memicu aktivasi HPA aksis, meyebabkan peningkatan kadar kortisol dan menghambat mekanisme umpan balik pada aksis tersebut. Aktivasi sistem saraf simpatis, jalur inflamasi dan stres oksidatif, metabolisme triptofan serta disbiosis mikrobiota dalam usus juga merupakan faktor yang terlibat pada keterkaitan antara patologi regulasi glukosa dan gangguan psikologis. Keseluruhan faktor tersebut saling terkait membentuk lingkaran setan yang menyebabkan progresivitas serta munculnya komplikasi pada DM 2.

Background: Worldwide, cervical cancer is the second highest cause of death after breast cancer. In Indonesia, cervical cancer is ranked second among all types of cancer. Psychological distress negatively affects the mortality rate of cancer patients, and there is no stress management treatment of standard integrative psychotherapy to be carried out in the process of individual therapy in cervical cancer.Objective: To treat psychological distress in cases of cervical cancer using an integrative psychotherapy approach, create a model of factors that influence psychopathology related to psychological distress, and an integrative psychotherapy model as the basis for making modules and standard operation procedures of stress management in cervical cancer patients.Methods: This is an integrated case study with descriptive, exploratory, and exploratory qualitative approaches in two women with cervical cancer who were given integrative psychotherapy (integrative psychoeducation combined with integrative guided imagery and music), data analysis using the constant comparative method. Presentation of data using tables and graphs.Results: Two models were illustrated, a model of factors that influence psychopathology related to psychological distress and an integrative psychotherapy model in stress management of cervical cancer patients. Evaluation of decreased distress and improved related physical symptoms (pain and sleep quality).Conclusion: A model of factors that influence psychopathology related to psychological distress and an integrative psychotherapy model that can be implemented in stress management of cervical cancer patients were obtained, with sessions and types tailored to the patient’s needs.

Background: Posttraumatic stress disorder (PTSD) among armed forces is an issue that receives a large attention. Most armed forces that go through traumatic events may have temporary difficulty adjusting and coping. Getting effective treatment can be critical to reduce symptoms and improve function. Transactional analysis (TA) is one of the non-pharmacologic treatments, which is used to show healthy interpersonal relationships and grow intrapersonal abilities. This study aimed to review systematically the doctor-patient relationship in transactional analysis therapy to relieve post-traumatic stress among armed forces. Subjects and Method: A systematic review was conducted by searching the following databases PubMed which published articles from 2008 to 2018. The keywords for this review included armed forces and PTSD. The inclusion criteria were review, systematic review, clinical review and guidelines. After review process 2 articles were included in this review. Results: Transactional analysis therapy improved interpersonal relationships, communication, well-being, firmness, coping, and symptom reduction. Good interpersonal and communication doctor improved healing of patients with PTSD. Conclusion: Transactional analysis therapy is effective in treating post-traumatic stress among armed forces.

.

Pendahuluan: Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang disebabkan oleh pengendapan kompleks imun dengan keterlibatan berbagai organ. Salah satu manifestasi yang paling umum SLE adalah Neuropsychiatric Systemic Lupus Erythematosus (NPSLE). Manifestasi klinis NPSLE yang paling banyak ditemukan adalah gangguan mood yaitu depresi. Kondisi pasien SLE yang mengalami berbagai perubahan secara fisik dapat mempengaruhi keadaan psikologisnya sehingga dibutuhkan dukungan sosial yang positif karena dapat menjadi penyangga efek negatif dari rasa sakit dan depresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan sosial dengan tingkat depresi pada penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Yayasan Tittari Surakarta. Metode: Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Subjek penelitian adalah penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Yayasan Tittari Surakarta. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling dengan pengisian kuesioner sosiodemografi, The Social Provisions Scale (SPS), dan Hospital Anxiety and Depression Scale – Depression (HADS-D). Analisis data dilakukan dengan uji normalitas Kolmogorov–Smirnov, serta uji bivariat menggunakan Spearman Rank. Hasil: Penelitian ini diikuti oleh 60 responden. Responden didominasi oleh perempuan (96,7%), dengan rentang usia terbanyak adalah 18 – 35 tahun (48,3%), sudah menikah (78,3%), serta memiliki tingkat pendidikan perguruan tinggi (71,7%). Mayoritas responden telah menderita SLE ≥2 tahun (95%) serta mengonsumsi obat steroid dan immunosupressan (41,7%). 35 responden memiliki dukungan sosial rendah (58,3%) sedangkan 25 responden memiliki dukungan sosial tinggi (41,7%). Berdasarkan tingkat depresi, 49 responden (81,7%) dalam keadaan normal (81,7%), 9 responden memiliki depresi ringan (15%), 2 responden mempunyai depresi sedang (3,3%), dan tidak ada responden yang memiliki depresi berat. Hubungan dukungan sosial dengan tingkat depresi pada pasien SLE di Yayasan Tittari Surakarta menunjukkan nilai p = 0,004 (p<0,05) dan nilai koefisien korelasi r= 0,370. Kesimpulan: Terdapat korelasi lemah antara dukungan sosial dengan tingkat depresi pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Yayasan Tittari Surakarta dengan arah korelasi negatif.